TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - GMNI bersama aliansi Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK), organisasi-organisasi tani dan buruh menyuarakan aspirasi pada peringatan Hari Tani Nasional Dan 60 Tahun UU Pokok Agraria.
Koordinator KNPA Dewi Kartika menyampaikan penilaiannya terhadap kinerja pemerintah dalam pelaksanaan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang terjadi selama ini.
"24 September itu adalah momentum penting dan bersejarah serta 2020 merupakan tahun yang genting sebab dalam kurun 60 tahun hingga detik ini UUPA tidak saja diabaikan, namun juga menghadapi ancaman yang cukup besar melalui proses yang saat ini sedang terjadi di DPR terkait pembahasan RUU Cipta Kerja. Pemerintah seolah menutup mata melihat gelombang penolakan yang berasal dari masyarakat terkait pembahasan RUU Cipta Kerja ini," ujar Dewi, dalam keterangannya, Jumat (25/9/2020).
Dewi menambahkan bahwa selama masa pandemi Covid-19 ini petani sudah membantu negara untuk memastikan lumbung-lumbung pangan dari tingkat komunitas, kampung, dan desa dapat dijadikan garda terdepan lumbung pangan nasional selama pandemi.
Namun sayangnya, negara bersama aparat dan korporasi berbasis agraria justru melakukan perampasan tanah, penggusuran, penangkapan dan intimidasi terhadap para petani.
Baca: 60 Tahun UUPA, Menteri ATR: Tingkatkan Pelayanan Pertanahan dan Tata Ruang yang Modern
"Sejak Maret hingga September telah terjadi 35 kasus konflik agraria, baik berupa perampasan tanah, penggusuran, intimidasi, bahkan surat ancaman agar Masyarakat Adat keluar dari wilayah-wilayah hidupnya. Beberapa contoh diantaranya kasus di Urut Sewu, Kebumen, antara petani dan TNI, konflik masyarakat adat Laman Kinipan, penggusuran masyarakat adat di Langkat, Sumatera Utara, perampasan tanah masyarakat adat Besipae, dan sebagainya," kata Dewi.
"Ini menunjukkan negara menciptakan situasi yang kontra produktif dengan narasi politik Presiden Jokowi meminta petani bergotong royong memastikan krisis pangan tidak terjadi," tambahnya.
Sementara itu, Ketua Umum GMNI Imanuel Cahyadi mengatakan pentingnya pelaksanaan agenda Reforma Agraria. Ia menilai pelaksanaan Reforma Agraria sejati sebagai jalan mewujudkan sila ke -5 Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"UUPA merupakan terjemahan mandat konstitusi pasal 33 UUD 1945. UUPA merupakan jalan menuju revolusi sosial melalui Reforma Agraria untuk merombak ketimpangan sosial, menciptakan tatanan yang lebih adil, dan mensejahterakan masyarakat Indonesia, utamanya dalam pengelolaan sumber-sumber agraria (tanah, air, dan segala kekayaan alam) yang terkandung dalam bumi pertiwi," kata Imanuel.
Selama ini, menurut Imanuel pemerintah tidak pernah menjadikan UUPA sebagai acuan dalam pembuatan kebijakan. Justru selama ini yang terjadi selama ini adalah meningkatnya konflik agraria di seluruh tanah air.
Menurutnya, di era pemerintahan saat ini ada begitu banyak kebijakan dan program yang mengancam kedaulatan rakyat atas tanah dan sumber agraria mereka.
"Perlu diketahui bahwa selama ini pemerintah tidak pernah membela rakyatnya yang dihadapkan pada konflik agraria. Terdapat total 109.042 kepala keluarga (kk) yang mengalami konflik agraria dengan total 734.239,3 Hektar area konflik," kata Imanuel.
"Dalam rentang waktu 2004-2019, setidaknya terjadi 3.568 konflik agraria yang berujung 2.734 kasus kriminalisasi terhadap petani dan rakyat yang menolak tanahnya digusur melalui program-program pemerintah seperti 16 Paket Kebijakan Ekonomi, 89 Proyek Strategis Nasional (PSN), Pembangunan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), Pembangunan Food Estate, dan lain sebagainya. Hal ini bertentangan dengan tujuan pemerintah yang menginginkan terciptanya kedaulatan pangan," jelasnya lagi.
Di sisi lain, Ketua Umum Konfederasi KASBI yang juga merupakan juru bicara aliansi GEBRAK yakni Nining Elitos menyampaikan Konfederasi KASBI bersama dengan gerakan buruh lainnya mendukung peringatan 60 tahun UUPA dan Hari Tani Nasional.
"Kami sangat mendukung dan akan bersama-sama berjuang bersama kaum tani. Ini penting karena di desa bahkan di kota terus terjadi perampasan hak-hak rakyat. Ditengah situasi pandemi Covid ini bahkan represifitas gerakan rakyat semakin masif atas nama investasi dengan mengorbankan kepentingan rakyat," kata Nining.
Nining memaparkan krisis kesehatan dan ekonomi telah memaksa buruh, petani, dan berbagai elemen masyarakat lain untuk turun ke jalan. Belum lagi pemerintah sedang mendorong pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR yang notabene bertentangan dengan UUPA yang sedang diperjuangkan pihaknya.
"Kedepan, kita semakin terancam, semakin tidak memiliki ruang hidup. Hak untuk memiliki tanah, hak untuk menjadi masyarakat yang telah diatur oleh konstitusi semakin hilang, termasuk bagi kaum buruh. Saat ini, kekuasaan terus memaksakan Omnibus Law RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) yang kita tahu akan membawa malapetaka bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Negara melalui kekuasaan telah melanggar konstitusi. Untuk itu saya menyerukan juga agar seluruh elemen masyarakat bersatu merebut dan memperjuangkan haknya," kata Nining.