TRIBUNNEWS.COM - Juru kampanye nasional dan internasional Dog Meat Free Indonesia (DMFI) menyerukan agar pihak berwenang Indonesia segera mengambil tindakan yang tegas untuk mengatasi ancaman serius rabies.
Ancaman rabies itu ditimbulkan dari aktivitas perdagangan daging anjing yang brutal dan ilegal dan mempengaruhi setidaknya satu juta ekor anjing setiap tahunnya.
Hal itu disampaikan dalam rangka memperingati Hari Rabies Sedunia yang jatuh pada Senin (28/9/2020).
Organisasi Kesehatan Dunia telah menandai pemberantasan rabies sebagai prioritas kesehatan global.
Selain itu, para menteri kesehatan dari berbagai belahan dunia juga telah berjanji untuk memberantas penyakit zoonosis ini pada tahun 2030.
Namun, sampai hari ini, masih ada setidaknya 70.000 orang yang meninggal karena rabies setiap tahun.
Kerugian global akibat rabies mencapai 8,6 miliar dollar Amerika.
Asia masih terus menanggung beban terbesar dari penyakit yang meskipun fatal dapat dicegah dengan vaksin ini, yakni menyumbang 45 persen dari angka kematian rabies global.
Baca: Disuntik Vaksin Rabies, Warga Cemas Anjing Liar yang Gigit Dua Bocah SD di Ciamis Belum Tertangkap
Para pemuka dan ahli kesehatan hewan dan manusia serta organisasi antarpemerintah, menetapkan vaksinasi anjing massal dan pembatasan pergerakan anjing sebagai syarat minimum untuk mengendalikan dan memberantas penyakit ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara eksplisit menyoroti perdagangan anjing untuk konsumsi manusia sebagai faktor pendukung penyebaran rabies di Indonesia.
Namun, terlepas dari pernyataan WHO, ataupun ketersediaan protokol pemberantasan rabies yang mapan dan sukses dilaksanakan di berbagai negara, perdagangan daging anjing di Indonesia terus meningkat tanpa bisa dihentikan.
"Mengetahui kajian luas mengenai virus rabies, tidak mengherankan bahwa perdagangan daging anjing sama sekali tidak sejalan dengan upaya pemberantasan rabies."
"Mengingat perdagangan daging anjing adalah satu-satunya kegiatan perdagangan yang mendorong pergerakan besar tidak terorganisir dari jutaan anjing tanpa catatan penyakit ataupun status vaksinasi, untuk berpindah antarprovinsi dan bahkan antarnegara, setiap tahunnya."
Baca: Seekor Anjing Dinyatakan Positif Covid-19, Rupanya Milik Seorang Bos sebuah Pabrik
"Terlebih lagi, kita tahu bahwa ada anjing positif rabies yang diperdagangkan dan dijagal, dengan bukti adanya anjing terinfeksi tanpa gejala yang diperdagangkan untuk konsumsi manusia di pasar-pasar."
"Bukan sebuah kebetulan bahwa provinsi dan kabupaten dengan permintaan daging anjing yang paling besar, juga merupakan provinsi dengan prevalensi rabies tertinggi."
"Dengan dampak sosial, ekonomi, dan kesejahteraan hewan yang sangat menghancurkan," kata Lola Webber, Change For Animals Foundation, dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews.com, Senin (28/9/2020).
Penelitian yang dilakukan di berbagai pasar di provinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa antara 7,8 sampai 10,6 persen anjing yang diperdagangkan untuk konsumsi manusia telah terinfeksi rabies.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat mengirimkan komentar dalam sebuah surel kepada Dog Meat Free Indonesia.
"Ada laporan bahwa operasi pasar daging anjing memiliki tingkat rabies yang lebih tinggi dibandingkan populasi anjing secara umum."
"Karena orang seringkali menjual anjing yang sakit ke pasar, dan sebagian di antara anjing sakit ini terkena rabies."
"Selain itu, setidaknya ada 3 laporan yang terbit mengenai manusia yang terpapar rabies dari aktivitas terkait dengan operasi pasar daging anjing, yang lebih menggarisbawahi bahwa ada resiko yang sangat nyata."
"Di seluruh dunia, negara-negara bersatu dalam respons kolektif terhadap pandemi Covid-19 yang mematikan, termasuk seruan untuk menutup perdagangan dan pasar paling berbahaya yang terkait dengan penularan penyakit dan munculnya penyakit zoonosis baru."
"Namun, meski ada peringatan dari ahli kesehatan manusia dan hewan serta ahli epidemiologi terkemuka, sebagian besar aktivitas perdagangan dan pasar hewan tanpa regulasi di seluruh wilayah tetap beroperasi tanpa halangan."
"Menyediakan lingkungan yang hampir identik dengan tempat munculnya Covid-19, dan berpotensi mengekspos ratusan ribu orang setiap hari, termasuk di antaranya para turis, ke berbagai penyakit zoonosis, termasuk rabies," jelas Dr. Katherine Polak, FOUR PAWS.
Baca: Anjing Rabies Gigit 8 Warga Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem, Bali
Walaupun perdagangan daging anjing masih terus beroperasi di banyak provinsi di Indonesia, investigasi DMFI dan riset menunjukkan bahwa hanya kurang dari 7 persen penduduk Indonesia yang mengonsumsi daging anjing.
Hanya sebagian kecil di antaranya mendapatkan keuntungan dari perdagangan tersebut.
Meski merupakan praktik yang termarjinalisasi, perdagangan daging anjing menempatkan seluruh masyarakat negara ini dalam potensi resiko rabies.
DMFI khawatir bahwa upaya mempertahankan status bebas rabies di berbagai kota atau provinsi atau untuk mengontrol rabies di daerah lainnya akan gagal tanpa adanya pembahasan mengenai perdagangan anjing untuk konsumsi manusia.
"Mengingat bahwa perdagangan daging anjing bergantung pada aktivitas kriminal."
"Serta melanggar hukum dan peraturan yang berlaku berkaitan dengan kesejahteraan hewan dan pencegahan penyakit, juga diketahui memperparah penularan rabies, ini harusnya menjadi prioritas penanganan pihak berwenang."
"Perdagangan yang mempengaruhi kesejahteraan serta stabilitas nasional dan internasional, tidak bisa lagi diabaikan ataupun dipertahankan sebagai pilihan individu ataupaun budaya."
Baca: Kasus Rabies di Klungkung Bali, Warga Diminta Ubah Cara Pemeliharaan Anjing
"Konsumen harus diingatkan bahwa daging anjing tidak mungkin bisa dipastikan aman untuk konsumsi manusia," terang Karin Franken, Jakarta Animal Aid Network.
Pasar yang memperdagangkan daging anjing seringkali berada di kota-kota padat penduduk, seperti Jakarta, Medan, dan Manado.
Menyediakan lingkungan yang hampir serupa dengan kondisi asal Covid-19 dipercayai merebak, di Wuhan, China, yang akan mengancam kesehatan dan keamanan bangsa.
Bukan hanya rabies, tetapi juga patogen baru yang mematikan.
"Dengan adanya ratusan anjing yang dijejalkan dalam truk dan dikirim melintasi provinsi bahkan antarnegara."
"Menuju ke rumah jagal dan pasar-pasar yang kotor, di mana hewan-hewan yang sangat stress ini kemudian dipajang dan disembelih bersama dengan banyak spesies liar dan domestik lainnya."
"Sangat mudah untuk melihat bahwa aktivitas perdagangan ini tidak hanya sangat brutal."
"Namun juga tempat berkembang biak yang sempurna untuk sebuah bencana kesehatan masyarakat yang akan datang," – kata Kelly O’Meara, Humane Society International.
Pada 2018, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Republik Indonesia menggambarkan perdagangan ini sebagai ‘kekejaman pada hewan’.
Setelah meninjau rekaman investigasi DMFI, pemerintah pusat pun telah menyatakan secara terbuka bahwa anjing tidak dianggap sebagai ‘makanan’ di Indonesia.
"Namun hingga saat ini kami masih menunggu kementerian untuk bertindak, dan sebagian pemerintah provinsi gagal menanggapi secara serius resiko rabies dan kekejaman hewan yang luar biasa dari perdagangan ini," kata Angelina Pane, Animal Friends Jogja.
Baca: 178 Warga di Bali Meninggal Akibat Digigit Anjing Rabies, Simak Langkah Preventif Mencegah Rabies
Sejak wabah Covid-19 muncul dari Wuhan pada akhir Desember 2019, otoritas Tiongkok telah melarang penjualan semua satwa darat lisr untuk dikonsumsi.
Selain itu, pada bulan April, kota Shenzhen dan Zhuhai pun memberlakukan larangan konsumsi daging anjing dan kucing di seluruh kota.
Pemerintah nasional telah menyatakan secara terbuka bahwa anjing dianggap sebagai hewan pendamping dan bukan hewan ternak.
Itulah sebabnya mereka tidak tercantum dalam daftar hewan yang dianggap sebagai ‘makanan’.
"Sekarang saatnya untuk menyadari kerugian sebenarnya dari perdagangan daging anjing."
"Ini adalah kondisi darurat kesehatan masyarakat yang bertanggung jawab langsung atas ribuan kematian setiap tahunnya akibat penyebaran rabies."
"Terbukti bahwa biaya sebenarnya bagi komunitas internasional untuk memerangi sebuah pandemi global, jauh melebihi biaya pencegahannya."
"Oleh karena itu kami mendesak pemerintah Indonesia untuk mengikut negara-negara lain di kawasan regional dalam mengesahkan undang-undang progresif."
"Untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan baik manusia dan juga hewan, dari bahaya penyakit zoonosis yang 100 persen dapat dicegah ini." ujar Jill Robinson, Animals Asia.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana)