Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menyayangkan keputusan DPR dan pemerintah yang hanya mengabulkan sebagian permintaan buruh dalam RUU Cipta Kerja.
Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, DPR menyebut pesangon dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tidak mengalami perubahan dalam klaster ketenagakerjaan, tetapi komponen lainnya banyak mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya.
Mirah mencontohkan, untuk pekerja outsourcing maupun kontrak di RUU Cipta Kerja tidak ada batasan waktu dan akhirnya tidak ada status karyawan bagi pekerja.
Baca: DPR dan Pemerintah Sepakati Klaster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja
Baca: Serikat Pekerja: Negara Lain Fokus Kesehatan, tapi Indonesia Kejar Tayang RUU Cipta Kerja
"Kalau kontrak kan tidak dapat pesangon dan UMK juga tidak sesuai. Artinya jadi sia-sia keberadaan pesangon ini," papar Mirah saat dihubungi Tribun, Jakarta, Senin (28/9/2020).
"Jadi percuma, pekerja tidak dapat pesangon karena statusnya kontrak terus menerus. Ibaratnya, kaki kanan dibebaskan, kaki kiri diikat," sambung Mirah.
Oleh sebab itu, Mirah berharap kepada pemerintah dan DPR melakukan perubahan dan RUU Cipta Kerja tidak disahkan pada sidang paripurna 8 Oktober 2020.
"Apabila masih keras sikapnya, kami akan terus melakukan aksi, kalau mogok nasional akan fatal akibatnya," tuturnya.
Sebelumnya, Baleg DPR dan pemerintah telah menyepakati klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Alhamdulilah sudah, tadi malam Panja sudah menyepakati secara aklamasi terhadap draf RUU-nya klaster ketenagakerjaan," kata Anggota Baleg DPR Firman Soebagyo saat dihubungi.
Menurut Firman, semua fraksi di DPR melalui lobi-lobi yang sangat alot sudah secara bulat menyepakati klaster ketenagakerjaan, dengan mempertimbangkan masukan dari kalangan buruh.
"Awal masalah kan soal pesangon. Ini sudah disepakati oleh seluruh fraksi, pesangon kembali ke angka 32 kali gaji, dengan rincian 23 kali ditanggung perusahaan dan 9 kali beban pemerintah melalui BPJS," paparnya Firman.
Selain itu, kata Firman, persoalan upah minimum daerah per kabupaten atau kota juga telah ditetapkan berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi masing-masing daerah.
"Awalnya hanya pertumbuhan ekonomi, sekarang dimasukan inflasi. Jadi tidak memberatkan semua pihak," ucap politikus Golkar itu.