TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte tetap menolak tuduhan bahwa dirinya menerima uang suap senilai 20 ribu dolar AS (Rp 296 juta) dan gratifikasi terkait penghapusan red notice terpidana kasus korupsi Djoko Sugiarto Tjandra.
Ia pun meminta kepolisian menghentikan penyidikan terhadapnya.
Napoleon juga mendesak kepolisian mencabut penetapan tersangka dan pencegahan terhadapnya.
Napoleon, melalui pengacaranya, mempertanyakan keabsahan proses penyidikan, dan
alat bukti yang menjadi dasar penyidikan saat penetapannya sebagai tersangka oleh
Bareskrim Polri.
"Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang
dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka
terhadap diri pemohon oleh termohon," ujar kuasa hukum Napoleon, Gunawan Raka,
membaca petitum dalam sidang praperadilan di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jakarta
Selatan, Senin (28/9)
Dalam petitumnya, pihak Napoleon menyatakan surat perintah penyidikan nomor
Sprin.sidik/50.a/Vlll/ 2020 / Tipidkor tanggal 05 Agustus 2020 mengandung cacat
hukum.
Gunawan menyebut surat penyidikan tidak sah dan harus dibatalkan demi
hukum.
Selain itu Napoleon menegaskan bahwa tuduhan terhadapnya yang tak mendasar.
Terutama kata Napoleon, menyangkut soal penerimaan uang dari Djoko Tjandra lewat
perantara Tommi Sumardi yang saat ini juga berstatus tersangka di Bareskrim Polri.
"20 ribu dolar itu, saya enggak tahu dari siapa itu dan bilangnya, saya yang terima uang.
Dari mana? Tidak tahu saya. Itu saja," tegas Napoleon usai sidang praperadilan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin, (28/9).
Praperadilan ajuan Napoleon kemarin merupakan sidang lanjutan yang kedua.
Pekan lalu, Senin (21/9), sidang pembacaan permohonan terpaksa ditunda karena pihak
kepolisian, sebagai termohon mangkir.
Di persidangan kedua kemarin para pihak hadir.
Napoleon kembali datang sebagai termohon.
Seperti pekan sebelumnya, di persidangan
kedua ini Napoleon juga datang dengan pakaian dinas kepolisian lengkap dengan
atribut perwira tinggi kepolisian berbintang dua.
Ia datang sekitar pukul 10.30 WIB ditemani sejumlah ajudan.
Bersama dirinya, tiga anggota kuasa hukum ikut mendampingi.
Sementara dari pihak kepolisian, tiga tim hukum Bareskrim Polri hadir mewakili pihak termohon.
Selain menyoroti soal bukti penerimaan uang, Napoleon, dalam memori gugatannya,
juga mempertanyakan soal alat bukti rekaman cctv yang pernah ditunjukkan penyidik
terkait pertemuannya dengan orang suruhan Djoko Tjandra, yakni Tommi Sumardi.
Kata Napoleon, rekaman cctv tersebut, selama ini dijadikan salah satu alat bukti terkait
dugaan pertemuannya dengan pemberi uang. Akan tetapi, kata Napoleon, bukti
rekaman cctv tersebut, manipulatif.
"Rekaman CCTV yang diajukan itu tidak ada," kata Napoleon.
Napoleon menerangkan, rekaman cctv yang dipublikasikan kepolisian kepada publik
selama ini, tak ada kaitannya dengan dirinya.
Sebab kata dia, rekaman cctv tersebut, hasil dokumentasi terkait aktivitas di lantai 1 Mabes Polri.
Sementara kata Napoleon, ruang kerjanya berada di lantai 11.
"Gedung TNCC itu ada 12 lantai. Saya di lantai 11," ujarnya Napoleon.
Di lantai tempat ia berkantor setiap hari, kata dia, ada lebih dari 30 petinggi kepolisian
berpangkat jenderal.
"Jadi kalau dikatakan selama ini dibilang ada ketemu saya, dari mana?," ucapnya lagi.
Karena mengaku tak menerima uang, pun tak merasa pernah bertemu dengan utusan
Djoko Tjandra, Napoleon menegaskan penyidik di Bareskrim Polri tak punya alat bukti,
dan dasar penyidikan yang konkrit terkait kasus yang menjeratnya.
Itu mengapa, Napoleon meminta hakim menerima gugatan praredilannya, dan memutuskan
penyidikan terhadapnya tak sah.
"Bukan saya yang salah. Tetapi, saya juga tidak dalam
kapasitas menentukan siapa yang salah siapa yang benar. Saya hanya mengajukan
hak-hak hukum saya sebagai warga negara," kata Napoleon.
Baca: Jadi Tersangka Red Notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte Praperadilankan Bareskrim
Terkait dugaan penerimaan 20 ribu dolar yang dikatakan dari Djoko Tjandra lewat
Tommi Sumardi, kordinator pengacara Napoleon, Gunawan Raka menegaskan, uang
tersebut sebetulnya tak terang peruntukannya untuk siapa.
Gunawan juga mengatakan, jika uang tersebut dijadikan alat bukti terhadap kliennya, ada tersangka lain yang juga dituduh kasus serupa.
Karena itu, menurut Gunawan, penyidik tak punya dasar
pembuktian yang terang dalam penetapan Napoleon sebagai tersangka.
"Uang tersebut, sebenarnya adalah uang yang disita dari tersangka lain. Dan tidak
pernah dikonfirmasikan, apalagi diperlihatkan pihak kepolisian kepada pemohon
(Napoleon) saat penyidikan," jelas Gunawan.
Para pengacara, pun mempertanyakan pernyataan Karo Penmas Polri Brigjen Awi
Setiyono yang pernah menyatakan Napoleon mengakui menerima pemberian uang
tersebut.
"Pernyataan kepolisian tersebut merupakan tindakan yang melanggar asas
presumption of innocence dan sangat prematur," katanya.
Baca: Mengapa Polri Tidak Hadiri Sidang Gugatan Praperadilan Irjen Napoleon? Ini Alasannya
Terkait gugatan praperadilan tersebut, pihak kepolisian belum siap untuk menjawab
memori gugatan.
Akan tetapi, saat sidang, kepolisian menjanjikan kepada Hakim
Suharsono, sebagai pengadil tunggal untuk menyampaikan jawaban atas memori
gugatan Napoleon, pada sidang lanjutan ketiga, Selasa (29/9).
Hakim Suharsono, pun memastikan sidang praperadilan, akan berlanjut sepanjang pekan ini, sampai pada keputusan yang diagendakan pada Selasa (6/10) mendatang.(tribun network/igm/dod)