Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya bakal mencegah kedatangan ribuan buruh dari daerah yang ingin mengikuti aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR RI, Jakarta.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan pihak kepolisian juga bersiap melakukan pembubaran paksa jika masih ada buruh yang nekat mengikuti aksi unjuk rasa.
"Kita sudah imbau kepada serikat-serikat buruh pekerja yang ada. Kita sudah imbau supaya tidak usah melaksanakan. Di masing-masing wilayah juga kita telah sampaikan yang mau berangkat kita bubarkan. Kita sampaikan supaya mereka tidak datang ke sini," kata Yusri saat dikonfirmasi, Senin (5/10/2020).
Baca: Tolak Omnibus Law Cipta Kerja, 2 Juta Buruh Bakal Gelar Mogok Nasional
Hingga saat ini, Yusri menyampaikan kepolisian tidak akan memberikan izin adanya kegiatan kerumunan di tengah pandemi Covid-19.
Hal itu demi mencegah penularan virus Corona.
"Karena situasi Covid-19 ini, kondisi PSBB Jakarta sehingga tidak diberikan izin untuk mengemukakan pendapat di muka umum khususnya di depan DPR hari ini. Izin keramaian atau STPTnya tidak akan kita berikan," jelasnya.
Baca: Komnas Perempuan: RUU Cipta Kerja Menurunkan Standar Perlindungan terhadap Buruh Perempuan
Lebih lanjut, Yusri menambahkan pihaknya juga mengimbau seluruh buruh tidak mengikuti aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI.
Sebaliknya, ia tak ingin aksi unjuk rasa itu menjadi klaster baru penularan Covid-19.
"Situasi sekarang ini sudah darurat kesehatan di Jakarta. Jangan lagi menambah klaster baru. Kita sudah lakukan imbauan sebagai preentif dan preventif kita lakukan patroli ketemu mereka semua kita minta pulang mereka semua," katanya.
2 juta buru akan mogok
ebanyak 2 juta massa buruh dari 150 kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan menggelar aksi mogok nasional selama tiga hari pada tanggal 6-8 Oktober 2020.
Aksi mogok kerja tersebut untuk menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mogok nasional adalah istilah yang digunakan oleh 32 federasi dan konfederasi serikat pekerja dalam menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan.
Mogok kerja nasional dilakukan massa buruh melalui mekanisme UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh khususnya Pasal 4 yang menyebutkan bahwa fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.
Baca: Hari Ini 5.000 Buruh Demo ke DPR Tolak Omnibus Low RUU Cipta Kerja, Aksi Berlangsung hingga Kamis
"Mogok kerja nasional adalah istilah, bentuknya unjuk rasa serentak secara nasional melalui mekanisme UU nomor 9 tahun 1998 dan UU nomor 21 tahun 2001 Tentang Serikat Pekerja. Bentuknya macam-macam, bisa mogok kerja ataupun unjuk rasa,” ucap Said Iqbal saat dihubungi, Minggu (4/10/2020) sore.
Dasar hukum aksi mogok nasional kaum buruh adalah UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Said Iqbal menjelaskan, aksi mogok nasional serikat buruh dilakukan secara serentak mulai tanggal 6 Oktober 2020 di lingkungan kerja masing-masing.
Iqbal mengklaim aksi mogok nasional ini sudah mendapat izin dari Mabes Polri, Polres kota/kabupaten dan Polda setempat.
Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, Serikat Pekerja: Ekonomi Tidak Dapat Pulih, Jika Pekerja Diberi Upah Murah
”Lokasi unjuk rasanya di lingkungan perusahaannya masing-masing. Dari pukul 06:00 WIB - 18:00 WIB. Tanggal 6 Oktober dan diakhiri tanggal 8 Oktober saat sidang Paripurna DPR. Dari 20 provinsi sudah konfirmasi akan mengikuti mogok nasional. Hampir lebih dari 150 kabupaten/kota diikuti oleh 2 juta buruh. Itulah jumlah yang masih kami dapatkan," kata Said Iqbal.
Iqbal menjelaskan, aksi mogok nasional ini dilatarbelakangi kekecewaan para buruh terkait pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disepakati oleh Pemerintah dengan Badan Legislatif (Baleg) DPR RI pada Sabtu (3/10) malam. Said Iqbal menjelaskan, ada tujuh isu di dalam RUU Cipta Kerja yang ditolak serikat buruh.
Pertama, yakni terkait Upah Minimum Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) yang dihapus melalui Omnibus Law Cipta Kerja.
Said Iqbal berpendapat, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab, UMK tiap kabupaten/kota berbeda-beda nilainya.
Baca: Politikus Demokrat Sebut Pembahasan RUU Cipta Kerja Ibarat Ibu Hamil yang Dipaksa Melahirkan
”Akan sangat tidak adil jika sektor otomotif dan sektor pertambangan nantinya akan memiliki nilai UMK yang sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk,” katanya.
Kedua, mengenai perubahan skema penyaluran pesangon melalui Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja, pesangon berubah dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar pemerintah lewat BP Jamsostek (BPJS).
Said Iqbal mempertanyakan dari mana BP Jamsostek mendapat sumber dana untuk membayar 6 bulan pesangon.
”BP Jamsostek justru bisa bangkrut dengan skema yang diterapkan melalui Omnibus Law Cipta Kerja ini," ujar dia.
Ketiga, yakni terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup yang tidak ada batas waktu kontrak. Buruh, kata Said Iqbal, tegas menolak PKWT seumur hidup.
Keempat, mengenai outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan.
Sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan.
Baca: Partai Demokrat Kritik Tak Ada Rasa Keadilan Sosial dalam RUU Cipta Kerja
"Karyawan kontrak tidak boleh seumur hidup, dia harus ada batas waktu kontrak sekitar 2 tahun, diperpanjang 2 tahun, setelah itu harus diangkat karyawan tetap atau dia keluar mencari pekerjaan lain. Masalah outsourcing juga tidak boleh seumur hidup," ucap dia.
Kelima, mengenai perubahan waktu jam kerja kaum buruh yang dinilai cenderung eksploitatif. Dalam draft Omnibus Law Cipta Kerja yang dibahas Baleg DPR RI dan Pemerintah, dikatakan waktu kerja buruh per hari maksimal 8 jam kerja dan dalam satu minggu maksimal 40 jam kerja.
”Dengan demikian, bisa terjadi buruh itu bekerja dari Senin-Minggu, tidak ada libur. Kalau Senin-Sabtu itu kan enam hari jam kerjanya per hari 6 jam saja, ditambah hari Minggunya kerja 4 jam. Jadi Senin - Minggu kerja, kapan liburnya," ujar dia.
Keenam, yakni mengenai hak.
Said Iqbal mengungkapkan, melalui skema Omnibus Law Cipta Kerja, hak cuti dan hak upah atas cuti bagi kaum buruh hilang. Itu termasuk untuk hak cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan.
"Contoh cuti haid, di Omnibus Law memang masih ada cuti haid dan melahirkan, tapi hak upahnya hilang. Kalau di UU nomor 13, kalau perempuan mengambil cuti haid dua hari dalam satu bulan, upahnya tidak dipotong. Dengan Omnibus Law itu dipotong upahnya. Bisa dipastikan buruh perempuan tidak akan mengambil cuti haid karena upahnya dipotong. Terkesan dipaksa kerja melalui sistem, ini yang saya sebut eksploitasi. Jadi sangat liberal, Amerika saja tidak seperti ini," sambung dia.
Ketujuh, yakni potensi hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena karyawan bisa dikontrak dan outsourcing seumur hidup. Said Iqbal menjelaskan, dari tujuh isu yang dipersoalkan buruh, ada empat yang paling utama.
Di antaranya yakni kembalikan UMK dan UMSK, karyawan dan outsourcing tidak boleh dikontrak seumur hidup, pesangon tidak boleh dikurangi, dan masalah waktu kerja yang dinilai sangat eksploitatif.
"Waktu kerja itu bisa saja fleksibel tapi tetap ada waktu libur," katanya singkat.
Said Iqbal mengimbau aksi mogok nasional kaum buruh dilakukan secara damai.
Ia mengingatkan bahwa aksi ini berlandaskan konstitusi. Diharapkan tidak ada anarkisme yang terjadi selama tiga hari mogok nasional.
”Lakukan dengan tertib, damai, dan hindari hal-hal anarkis yang melanggar undang-undang. Mogok ini adalah mogok damai, dan mekanismenya memakai landasan hukum. Oleh karena itu, ini adalah mogok konstitusional, tidak seperti yang dipikir surat APINDO dan Kadin yang menyatakan mogok kerja, salah," ujar dia.