News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Djoko Tjandra

Praperadilan Irjen Pol Napoleon Ditolak, Siapa Saja Jenderal Polisi yang Pernah Ajukan Praperadilan?

Penulis: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tiga jenderal polisi yang pernah mengajukan praperadilan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gugatan praperadilan mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte ditolak Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Hal itu diputuskan dalam sidang agenda pembacaan putusan yang berlangsung di PN Jaksel, Selasa (6/10/2020).

Irjen Pol Napoleon selaku Pemohon tidak hadir dan kehadirannya diwakili oleh tim hukumnya.

Baca: Praperadilan Ditolak Hakim, Kubu Napoleon Bakal Pelajari Putusan Sidang

Hakim Ketua Suharno menilai Bareskrim Polri dalam penetapan tersangka terhadap Napoleon dalam perkara gratifikasi penghapusan red notice Djoko Tjandra dianggap sudah sesuai prosedur.

"Pertama, menolak praperadilan Pemohon untuk seluruhnya. Kedua, membebankan biaya perkara senilai nihil," ungkap Hakim Ketua Suharno di ruang 5, PN Jaksel.

Sebagaimana diketahui, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan tersangka dirinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Napoleon berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice di Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

Sidang perdana untuk gugatan praperadilan tersebut digelar di PN Jaksel pada Senin (21/9/2020) lalu.

Pada sidang Senin (28/9/2020) minggu lalu, Irjen Napoleon Bonaparte menilai Bareskrim Polri selaku termohon tidak punya bukti penerimaan suap terhadap dirinya.

Napoleon membantah pernah menerima suap atau janji dalam bentuk apapun terkait penghapusan red notice atas nama Djoko S. Tjandra.

Irjen Pol Napoleon bukanlah jenderal polisi pertama yang mengajukan praperadilan terkait kasus dugaan korupsi. Tercatat, setidaknya ada dua pati dari Korps Bhayangkara yang pernah melakukan hal yang sama. Siapa saja mereka?

1. Budi Gunawan

Saat masih berpangkat Komjen, Budi Gunawan dibantu Divisi Hukum Mabes Polri mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri terhadap KPK, terkait status tersangka yang ia sandang.

Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji selama menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006 dan jabatan lainnya di kepolisian.

Padahal, Budi Gunawan ketika itu sedang "berstatus" calon Kapolri. Merasa ada kejanggalan dalam penetapan status tersangka itu, ia pun mengajukan praperadilan.

Baca: Kasus Djoko Tjandra: Jokowi Didesak Berhentikan Budi Gunawan hingga Brigjen Prasetijo Jadi Tersangka

Hasilnya? Putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi pada praperadilan, menyatakan bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK tidak sah.

Putusan itu diambil dengan pertimbangan bahwa BG bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum. Sehingga KPK tidak berhak mengusut kasusnya.

Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa keputusan diambil berdasarkan undang-undang yang menyatakan bahwa subyek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK sebagai termohon adalah orang yang perbuatannya menyebabkan kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Namun dalam Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) nomor 03/01/01/2015 per tanggal 12 Januari 2015, dinyatakan bahwa pemohon yaitu Komjen Budi Gunawan diduga melakukan tindak pidana korupsi, menerima hadiah atau janji.

"Menimbang perbuatan menerima hadiah atau janji tidak dikaitkan dengan timbulnya kerugian negara karena perbuatan itu berhubungan dengan penyalahgunaan kewenangan maka apa yang diduga dilakukan pemohon tidak menyebabkan kerugian negara," kata Hakim Sarpin.

Meski memenangkan praperadilan, Budi Gunawan urung jadi Kapolri. Namun, ia tetap "mendapat" empat bintang di pundak dengan jabatan sebagai Kepala BIN hingga saat ini.

2. Susno Duadji

Masih ingat sosok Komjen Pol Susno Duadji? Mantan Kabareskrim ini juga pernah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2010. Hal itu dilakukan Susno karena ia ditahan oleh penyidik tim independen terkait kasus penangkaran arwana di Riau

Kuasa hukum Susno kala itu, M Assegaf, di Mabes Polri, Selasa (11/5/2010), mengatakan, tidak ada dasar hukum untuk melakukan penahanan terhadap kliennya.

Penampilan Susno Duadji Setelah Jadi Petani, 'Lengket' dengan Kaos, Caping, Topi Rimba, dan Handuk (Kolase TribunNewsmaker/Instagram Susno Duadji)

Hasilnya? Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Susno Duadji . "Menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Haswandi yang menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan Susno Duadji di PN Jakarta Selatan, Senin (31/05).

Dalam putusannya, Haswandi menyebutkan kalau penangkapan Susno pada 10 Mei lalu dan penahanannya, pada 11 Mei 2010, sah menurut hukum.

Kasus Susno sendiri berakhir dengan masuknya sang jenderal ke penjara.

Majelis hakim PN Jakarta Selatan memvonis dirinya dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 200 juta dengan subsider 6 bulan kurungan.

"Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sesuai dakwaan kedua dan dakwaan pertama alternatif kelima," ujar Ketua Majelis Hakim Charis Mardiyanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (24/3/2011) malam.

Jenderal bintang tiga itu juga harus membayar uang pengganti senilai Rp 4 miliar yang harus dibayar dalam jangka waktu 1 bulan.

Hakim menilai Susno Duadji terbukti menerima suap Rp 500 juta dari Haposan Hutagalung melalui Sjahril Djohan dalam penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari.

Susno juga terbukti menyalahgunakan wewenang saat menjabat Kepala Polda Jabar dengan memerintahkan pemotongan dana pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat pada 2008 untuk penggunaan yang tidak semestinya.

Majelis hakim menilai, perbuatannya tersebut merugikan negara sebesar Rp 8,1 miliar.

"Terbukti melakukan pemotongan dana dan setelah terkumpul tidak digunakan untuk pengamanan pilkada, tapi pembelian valuta asing, Camry sebagai mobil dinas, atensi Kapolda Jabar dan pejabat Polda," ujar anggota majelis hakim, Samsudin.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini