News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Amesty International Indonesia dan TURC Sebut Pengesahan UU Cipta Kerja Dipaksakan dan Abaikan HAM

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Penolakan Omnibus Law: Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan gedung DPR, Jakarta, Rabu (29/7/2020).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sehari setelah disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, Amnesty International Indonesia dan Trade Union Rights Centre (TURC) merilis pernyataan bersama yang isinya memprotes pengesahan RUU Cipta kerja menjadi undang-undang oleh DPR RI.

Keduanya menilai proses pengesahan UU Cipta Kerja sangat dipaksakan, abai terhadap Hak Asai Manusia, dan menafikan kritik publik atas isi UU tersebut.

"Dalam pandangan kami pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang sangat dipaksakan, mengabaikan hak asasi manusia, dan menafikan kritik publik terhadap isi undang-undang tersebut," katanya dalam rilis yang diterima Tribunnews.com pada Selasa (6/10/2020).

Baca: 8 Poin UU Cipta Kerja yang Disorot Buruh, Dari Kerja Kontrak Seumur Hidup Hingga PHK Sepihak

Amnesty International dan TURC menilai, pengesahan UU Cipta Kerja menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia.

Para pembuat kebijakan dinilai tadak mempertimbangkan masukan pihak yang menentang substansi UU Cipta Kerja dan prosedur penyusunan UU baru tersebut.

Amnesty International dan TURC juga menilai pasal-pasal bermasalah di dalam UU Cipta Kerja secara nyata mengancam hak buruh dan masyarakat secara umum.

Baca: Demokrat Tolak RUU Cipta Kerja, AHY: Banyak Pasal yang Merugikan Kaum Buruh dan Pekerja

"Karena itu, kami mendesak anggota DPR untuk segera merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Cipta Kerja," kata Amnesty International dan TURC dalam rilis tersebut.

Amnesty International Indonesia dan TURC menilai hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan dan emerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari mereka yang dirugikan atas pengesahan UU Cipta Kerja.

Sejak pertama kali diusulkan, UU Cipta Kerja telah menuai kontroversi karena proses penyusunannya kurang transparan hingga waktu pengesahan praktik tersebut masih dilakukan.

Contohnya pembahasan yang dilakukan tertutup saat hari libur dan waktu pengesahan yang lebih cepat dari yang dijadwalkan.

Baca: Simak Perbandingan UU Cipta Kerja yang Baru Disahkan dengan UU Ketenagakerjaan Lama

"Kami menilai pembahasan yang dilakukan sejak awal dengan minim konsultasi telah melanggar hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan hak atas informasi," katanya.

Amnesty International Indonesia dan TURC juga mengingatkan pandemi Covid-19, tidak boleh dijadikan alasan untuk memberangus kebebasan masyarakat berbicara dan berekspresi.

"Karena seperti kita ketahui bersama, pada 2 Oktober 2020, Kapolri mengeluarkan telegram ke Kapolda di seluruh Indonesia yang berisi tentang imbauan untuk mendeteksi aksi unjuk rasa di berbagai kota terkait penolakan UU Cipta Kerja," katanya.

Dalam telegram itu, Kapolri mengimbau jajarannya untuk mencegah aksi unjuk rasa dan melakukan patroli siber terhadap mereka yang menolak UU Cipta Kerja.

Berdasarkan analisis Amnesty International Indonesia dan TURC, UU Cipta Kerja telah menghapus 11 pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan meliputi: pasal 77A, 88F, 88G, 89, 90, 91, 96, 97, 67, 77A, dan 150.

UU tersebut juga telah mengubah 18 pasal dalam UU Ketenagakerjaan dan 2 pasal dalam UU SJSN, serta melakukan penambahan 15 pasal baru.

Sejumlah hal yang menjadi catatan kritis AII dan TURC antara lain:

Pertama, pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status pekerja sementara menjadi pekerja tetap masih dipertahankan dalam UU Cipta Kerja.

Namun demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP.

Aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan UU Cipta Kerja jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap.

"Hal ini menghilangkan kepastian kerja," ujarnya.

Kedua adalah batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (3) UU Cipta Kerja masih dikecualikan untuk sektor
tertentu.

Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP).

"Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain," jelasnya.

Ketiga, ketentuan batas waktu lembur di Pasal 78 UU Cipta Kerja juga dikecualikan bagi sektor tertentu walaupun kewajiban pengusaha untuk membayar upah lembur juga masih ada.

"Ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, sehingga masih ada kekhawatiran bahwa pekerja di sektor-sektor tertentu bisa bekerja lebih dari waktu lembur yang manusiawi dan tidak mendapatkan upah yang layak," katanya.

Keempat, pasal 79 UU Cipta Kerja mengurangi ketentuan waktu istirahat mingguan menjadi hanya 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu istirahat mingguan ada dua pilihan yakni 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu dan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.

Dalam ICESCR telah dianjurkan waktu istirahat adalah 2 hari untuk 5 hari kerja per 1 minggu.

"Dampaknya, bisa saja pekerja yang bekerja selama 5 hari kerja dalam 1 minggu hanya memiliki hak libur harian selama 1 hari (yang sebelumnya 2 hari
dalam UU Ketenagakerjaan)," katanya.

Kelima, UU Cipta Kerja menghapuskan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang menjadi standar pertimbangan upah minimum dalam Pasal 89 (2) UU Ketenagakerjaan.

Berdasarkan Permenakertrans No. 13 tahun 2012, KHL terdiri dari makanan, minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.

Sementara, dalam Pasal 88C UU Cipta Kerja, Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan hanya berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, yang didasarkan atas pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi.

Tidak ada kewajiban bagi Gubernur untuk mempertimbangkan KHL lagi dalam menentukan UMP dan UMK.

"Dampaknya adalah adanya kemungkinan bahwa pekerja mendapatkan upah yang lebih rendah dari upah mereka saat ini karena komponen KHL yang tidak lagi dimasukkan," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini