Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu Silvia Devi Soembarto mengklarifikasi terkait polemik pelaporan jurnalis Najwa Shihab atas tayangan kursi kosong karena ketidakhadiran Menteri Kesehatan dr Terawan Agus Putranto.
Silvia mengungkapkan hingga saat ini ia belum melaporkan Najwa Shihab ke pihak Kepolisian.
"Kalau melaporkan, dalam bahasa hukum kan harus ada surat LP (Laporan Polisi)," kata Silvia dalam tayangan bertajuk Bangku Kosong Najwa, Apa Yang Salah? di kanal Youtube Crosscheck Medcom id pada Minggu (11/10/2020).
Ia mengaku niat awalnya datang ke Polda Metro Jaya adalah untuk berkonsultasi terkait tayangan yang dinilainya sebagai perundungan siber tersebut.
Silvia mengaku pada saat dirinya datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, Selasa (6/10/2020) juga telah membawa video yang memuat wawancara kursi kosong tersebut dari Youtube dan running text yang sudah dicetaknya.
Baca: Bantah Pernyataan Jokowi, KSPI Sebut Demo Tolak UU Cipta Kerja Tak Didasari Hoaks & Disinformasi
Kemudian, kata Silvia, dari SPKT ia diarahkan ke unit siber Polda Metro Jaya.
Dari unit siber Polda Metro Jaya, lanjutnya, ia kemudian diarahkan ke Dewan Pers karena menyangkut karya jurnalistik.
Namun, demikian ia menilai tayangan tersebut bukanlah karya jurnalistik.
Menurutnya sebuah wawancara dalam karya jurnalistik harus ada pewawanca dan narasumber.
Selain itu, ia menilai dalam tayangan tersebut Najwa melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Terawan yang tidak bisa dijawabnya karena tidak hadir dalam wawancara tersebut.
Baca: Kondisi Terkini Najwa Shihab Usai Pesan Minta Tolongnya Beredar: Belajar dan Berani Ambil Sikap
"Ini bukan karya jurnalistik. Bukan produk jurnalistik," kata Silvia.
Ia pun menilai ketidakhadiran Terawan adalah hak Terawan.
Terlebih menurutnya sebagai Menteri Kesehatan, di tengah pandemi Covid-19 ini Terawan memiliki skala prioritas.
"Kembali lagi kepada niat. Niat awalnya ketika dr Terawan tidak bisa datang. Kemudian dr Terawan mengirim Dirjennya akan tetapi ditolak. Cuma saja di situ ada unsur pemaksaannya. Seolah-olah dr Terawan harus wajib datang. dr Terawan ini adalah Menteri Kesehatan RI, bukan Menteri Kesehatan Mata Najwa. Jadi tidak harus patuh," kata SIlvia.
Baca: Terjawab, Misteri Tulisan Tolong Saya di Kertas yang Dibawanya, Najwa Shihab: Bukan Saya yang Tulis
Hingga saat ini SIlvia mengungkapkan telah membuat surat pengaduan dan akan segera mengirimkannya kepada Dewan Pers terkait dengan tayangan tersebut.
Namun, jika nantinya Dewan Pers menyatakan tidak ada pelanggaran kode etik terkait tayangan tersebut, maka SIlvia akan tetap menghormati keputusan tersebut.
"Ketika kemudian Dewan Pers menyatakan tidak ada pelanggaran, tidak ada kode etik yang dilanggar ya saya hormati. Akan tetapi saya mempunyai data di mana memang melanggar. Cukup saya simpan saja. Mau diapakan lagi. Andaikan seperti itu, Jadi saya menghormati hukum," kata Silvia.
Tepat Polisi Tolak Laporan Relawan Jokowi
Eks Analis Konten Pemberitaan KPI Pusat Algooth Putranto menyoroti soal polemik video Najwa Shihab mewawancara kursi kosong Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Wawancara dalam program Mata Najwa tersebut ditayangkan di saluran YouTube milik Narasi TV pada 28 September 2020.
Karena konten itulah Najwa Shihab dilaporan oleh Relawan Jokowi Bersatu ke Polda Metro Jaya.
Namun, polisi telah menolak laporan tersebut, Selasa, 6 Oktober 2020 dan mengarahkan agar pihak pelapor terlebih dahulu mengadu ke Dewan Pers.
Baca: FAKTA Relawan Jokowi Laporkan Najwa Shihab, Dinilai Rendahkan Jokowi hingga Tanggapan Nana
"Tindakan dalam menindaklanjuti kasus ini sangat tepat karena secara hukum Narasi TV sejak 28 November 2019 adalah Perusahaan Pers berbadan Hukum Pers yang Terverifikasi Administratif dan Faktual," kata Algooth dalam keterangan yang diterima, Rabu (7/10/2020).
Akademisi Universitas Bina Sarana Informatika itu mengatakan keputusan Polri merupakan bentuk penghormatan terhadap Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Dewan Pers dengan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 01/DP/MoU/II/2012 (Dewan Pers) dan 05/II/2012 (Polri) tentang 'Koordinasi Dalam Penegakan Hukum dan Perlindungan Kemerdekaan Pers'.
MoU tersebut diperjelas dalam Nota kesepahaman Nomor: 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor: B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Baca: Najwa Shihab Buka Suara Atas Laporan Relawan Jokowi ke Polisi karena Wawancara Kursi Kosong
"Penggiringan isu bahwa penyiaran Narasi TV yang menggunakan channel YouTube dapat ditarik sebagai pelanggaran UU ITE adalah tidak tepat, mengingat status Narasi TV yang tercatat di Dewan Pers adalah media siber," lanjutnya.
Demikian pula penggiringan isu bahwa konten penyiaran Narasi TV melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) sebagai acuan bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam melaksanakan UU Penyiaran adalah tidak tepat, mengingat konten layanan video over the top (OTT) tidak diatur oleh UU Penyiaran.
"Pelanggaran P3SPS baru dapat diproses oleh KPI ketika konten Narasi TV yang dipermasalahkan tayang di stasiun televisi terestrial yang menjadi mitra Narasi TV, dalam hal ini Trans7 yang juga tercatat sebagai badan hukum pers Terverifikasi Administrasi sejak 4 September 2018," katanya.
Meski demikian, laporan masyarakat terhadap konten produk jurnalistik tidak boleh dihalangi maupun dinilai sebagai upaya mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat.
"Pasal 17 UU Pers menyebutkan ‘Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan," katanya.
"Kegiatan tersebut dapat berupa ‘memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers," ucap Algooth.