News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

Jika Uji Materi UU Cipta Kerja Ditolak, Pakar HTN Sebut Ada Opsi Executive Review, Apa Itu?

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga melintas di dekat spanduk imbauan tolak anarkisme di Jakarta, Senin (12/10/2020). Spanduk imbauan untuk tidak melakukan aksi anarkisme yang merebak di sejumlah kawasan di Jakarta pascaaksi unjuk rasa massa yang menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10.2020) lalu.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersilakan pihak yang tidak puas dengan Undang-undang Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Akan tetapi apabila uji materi itu tidak dikabulkan oleh MK, lantas apa opsi bagi pihak yang menolak UU Cipta Kerja?

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan ada opsi yang dapat diambil di luar hukum yakni executive review. 

"Kalau untuk formal konstitusional atau di dalam hukum nggak ada lagi (cara untuk menolak UU Cipta Kerja). Yang ada adalah ditempuh di luar hukum, maksud saya dilakukan semacam permintaan dengan amat sangat kepada pemerintah untuk melakukan executive review," ujar Asep, ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (12/10/2020).

"Jadi pemerintah mengkaji ulang dengan sangat seksama agar masukan-masukan publik itu dipertimbangkan nantinya. Namanya executive review," imbuhnya. 

Warga melintas di dekat spanduk imbauan tolak anarkisme di Jakarta, Senin (12/10/2020). Spanduk imbauan untuk tidak melakukan aksi anarkisme yang merebak di sejumlah kawasan di Jakarta pascaaksi unjuk rasa massa yang menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10.2020) lalu. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Namun, Asep menjelaskan executive review tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Opsi ini dapat dilakukan setelah paling tidak UU Cipta Kerja setahun berjalan. 

Baca juga: Soal Peluang Diterima Tidaknya Uji Materi UU Cipta Kerja, Pakar Hukum Tata Negara: Fifty-fifty 

Dalam hal ini, executive review harus dilihat dari konteks pelaksanaannya atau prakteknya.

Karenanya jika dalam perjalanannya UU Cipta Kerja menimbulkan masalah, barulah opsi ini bisa diambil. 

"Karena nggak ada artinya executive review dilakukan sebelum ini dijalankan. Maka ada pemikiran bahwa dijalankan dulu saja, kalau misal ada problem yang menyangkut hukum nah baru dilakukan semacam review oleh pihak pemerintah. Itu yang paling tidak bisa dijalankan ketika MK menolak uji materinya," kata dia. 

"Jadi kalau banyak masalah, hambatan, dan justru kontra produktif baru dilakukan executive review oleh para ahli yang terkait dengan substansinya kemudian bisa mengubah pasal-pasal yang ada di UU Cipta Kerja ini," imbuh Asep. 

Asep juga tak menutup kemungkinan opsi lain yakni legislatif review oleh DPR RI. Dalam hal ini, DPR yang menguji dan perubahan akan dilakukan oleh inisiatif DPR sendiri. 

Warga melintas di dekat spanduk imbauan tolak anarkisme di Jakarta, Senin (12/10/2020). Spanduk imbauan untuk tidak melakukan aksi anarkisme yang merebak di sejumlah kawasan di Jakarta pascaaksi unjuk rasa massa yang menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10.2020) lalu. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Hanya saja berkaca pada kebiasaan selama ini, Asep menuturkan biasanya jika perubahan UU dinisiasi dari eksekutif maka perubahan juga dilakukan oleh pihak eksekutif. 

"Atau kalau mau DPR, namanya legislative review. Tapi biasanya sih kalau perubahannya inisiatif dari executive, maka biasanya perubahan juga dari executive lagi," ungkap Asep. 

"Walaupun DPR berhak juga melakukan review terhadap UU Cipta Kerja ini. Tapi lagi-lagi sarana untuk menguji itu adalah praktek, ukurannya praktek atau pelaksanaan dulu. Baru dilakukan review oleh pemerintah," tandasnya. 

Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersilakan pihak yang tidak puas dengan Undang-undang Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau masih ada, jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK," ujar Jokowi dalam siaran langsung jumpa pers via kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Jokowi juga meluruskan terkait hoax mengenai UU Cipta Kerja yang berkembang di masyarakat.
Dia menegaskan, dalam UU Cipta Kerja ini, aturan soal upah minimum tetap ada.

Jokowi juga menekankan bahwa upah minimum dihitung per jam juga tidaklah benar. Begitu juga soal cuti. Jokowi menyebut hak cuti tetap dijamin dan tetap ada.

Warga melintas di dekat spanduk imbauan tolak anarkisme di Jakarta, Senin (12/10/2020). Spanduk imbauan untuk tidak melakukan aksi anarkisme yang merebak di sejumlah kawasan di Jakarta pascaaksi unjuk rasa massa yang menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10.2020) lalu. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Hak cuti tetap ada dan dijamin," kata Jokowi.

Jokowi menilai unjuk rasa yang berlangsung terkait penolakan UU Cipta Kerja dilatarbelakangi adanya hoax di media sosial. Termasuk disinformasi mengenai substansi.

Presiden juga mengatakan Undang-undang yang barus saja disahkan DPR tersebut masih memerlukan peraturan turunan untuk mengatur secara teknis.

"Saya perlu tegaskan pula bahwa undang-undang Cipta kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah atau PP dan peraturan presiden atau Perpres. Jadi setelah ini akan muncul PP dan Perpres yang akan kita selesaikan paling lambat 3 bulan setelah diundangkan," katanya.

Kepala negara memastikan akan membuka ruang aspirasi atau usulan dalam penyusunan peraturan turunan tersebut. Baik itu dalam menyusun peraturan pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres).

"Kita pemerintah membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan dari daerah-daerah," katanya.

Presiden menegaskan bahwa Undang-undang Cipta Kerja diperlukan untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya.

Selain itu, UU Ciptaker juga untuk memperbaiki kehidupan para pekerja.

"Dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka," katanya.

Dalam Undang-undang Cipta Kerja menurut Presiden terdapat 11 klaster yang secara umum memiliki tujuan untuk melakukan reformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi.

Adapun klaster tersebut yakni ursan penyederhanaan perizinan, urusan persyaratan investasi, urusan ketenagakerjaan, urusan pengadaan lahan, urusan kemudahan berusaha, urusan dukungan riset dan inovasi.

"Selain itu urusan administrasi pemerintahan, urusan pengenaan sanksi, urusan kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, urusan investasi dan proyek pemerintah serta urusan kawasan ekonomi," ujarnya.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menyatakan bahwa Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja sangat penting untuk menciptakan iklim ekonomi yang baik bagi negara.

Karena itu ia memastikan akan terus berpegang pada Undang-undang Omnibus Law meski menyadari sudah ada gelombang aksi.

"Dalam rapat terbatas tersebut saya tegaskan mengapa kita membutuhkan Undang-Undang Cipta Kerja. Pertama, setiap tahun ada sekitar 2,9 juta penduduk usia kerja baru anak muda yang masuk ke pasar kerja sehingga kebutuhan atas lapangan kerja baru sangat sangat mendesak."

Warga melintas di dekat spanduk imbauan tolak anarkisme di Jakarta, Senin (12/10/2020). Spanduk imbauan untuk tidak melakukan aksi anarkisme yang merebak di sejumlah kawasan di Jakarta pascaaksi unjuk rasa massa yang menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja Kamis (8/10.2020) lalu. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Apalagi di tengah pandemi. Terdapat kurang lebih 6,9 juta pengangguran dan 3,5 juta pekerja terdampak pandemi Covid-19," tutur Jokowi.

Lalu, lanjut Jokowi, sebanyak 87 persen dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMA ke bawah, di mana 39 persen hanya tamat sekolah dasar.

Karena itu, Jokowi memandang, perlu dorongan penciptaan lapangan kerja baru khususnya di sektor padat karya.

"Jadi Undang-undang Cipta Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja serta para pengangguran," kata Jokowi.

Alasan lainnya, tambah Jokowi, dengan Undang-undang Cipta Kerja akan memudahkan masyarakat khususnya UMK untuk membuka usaha baru.

Regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit dipangkas. Perizinan usaha untuk usaha mikro kecil tidak diperlukan lagi, hanya pendaftaran saja.

"Pembentukan PT atau perseroan terbatas juga dipermudah, tidak ada lagi pembatasan modal minimum. Pembentukan koperasi juga dipermudah jumlahnya hanya 9 orang saja, koperasi sudah bisa dibentuk. Kami harapkan akan semakin banyak koperasi-koperasi di Tanah Air," kata dia.

Selain itu, UMK atau usaha mikro kecil yang bergerak di sektor makanan dan minuman, pemerintah menggaratiskan sertifikasi halalnya.

Kemudian, izin kapal nelayan penangkap ikan misalnya hanya ke unit kerja Kementerian KKP saja.

"Kalau sebelumnya harus mengajukan ke Kementerian KKP, Kementerian Perhubungan, dan instansi instansi yamg lain. Sekarang ini cukup dari unit di Kementerian KKP saja," jelas Jokowi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini