TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait masa jabatan Presiden menjadi 7-8 tahun, hanya akan menjadi sebuah usulan tanpa ada realisasinya atau angin lalu.
"Menurut hemat saya, usulan MUI tersebut hanya akan jadi angin lalu. Hanya akan dibaca saja, tak akan dijadikan kebijakan DPR dan pemerintah," ujar Pengamat politik dari Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin saat dihubungi Tribun, Jakarta, Senin (19/10/2020).
Ujang menyakini, usulan MUI tersebut tidak akan diakomodir oleh elite politik dan pemerintah, yang memiliki kewenangan untuk mengubah masa jabatan presiden melalui amandemen UUD 1945.
"Tapi sah-sah saja MUI mengusulkan jabatan 7-8 tahun hanya dalam satu periode jabatan. Namun, persoalannya apakah para elite politik mau? Fatwa dan usul MUI itu kan perlu konsensus antar sesama elite," papar Ujang.
Baca juga: Munas MUI Bakal Bahas Fatwa Soal Masa Bakti Presiden Hingga Politik Dinasti
Baca juga: Usulan MUI Soal Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun Harus Amandemen UUD 1945
Baca juga: MUI Usul Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun, Pengamat: Urus Masalah Agama Saja
Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini selama lima tahun dan dapat maju kembali untuk periode kedua, merupakan implementasi dari Pasal 7 UUD 1945.
Adapun bunyi Pasal 7 UUD 1945 yaitu :
Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang hanya untuk satu kali masa jabatan.
Sebelumnya, Ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hasanuddin AF menyebut pihaknya akan mengusulkan fatwa tentang masa jabatan presiden selama 7-8 tahun.
Dengan durasi tersebut, seseorang yang menjadi Presiden hanya diperbolehkan satu periode dan tidak bisa dipilih lagi pada periode selanjutnya.
Usulan fatwa tersebut akan dibawa dan dibahas bersama dalam forum Musyawarah Nasional (Munas) MUI yang digelar 25-28 November 2020, di Jakarta.