News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sekolah di Kala Pandemi: Anak Didik Susah Belajar, Guru Bingung Mengajar

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI PEMBELAJARAN JARAK JAUH.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koneksi internet menjadi hal yang sangat penting saat pandemi covid 19 seperti sekarang ini.

Adanya internet juga bisa membantu pembelajaran jarak jauh(PJJ).

Namun berdasarkan data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih ada 12 ribu sekolah yang belum memiliki akses internet.

Direktur Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Praptono mengatakan kendala minimnya jaringan internet ini terjadi di wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T). 

Baca juga: Pelajar SMA di Gowa Bunuh Diri Karena Stres, P2G Minta Kemendikbud Evaluasi Pelaksanaan PJJ

"Ketika kemudian anak-anak masih sebagian besar memiliki kendala online karena di daerah 3T, yang secara umum persoalan listrik dan jaringan internet masih bermasalah," ujar Praptono dalam webinar Suara Guru, Kamis (22/10/2020).

"Dapodik menyatakan 12 ribu sekolah kita belum punya akses internet, dan kita lihat seluruhnya di daerah 3T. Sementara 48 ribu satuan pendidikan punya problem jaringan yang tidak baik, ada tapi tidak baik ini juga mayoritas di 3T," tambah Praptono.

Baca juga: KPAI Minta PJJ di Gowa Dievaluasi Akibat Pelajar Bunuh Diri

Menurut Praptono, lemahnya jaringan internet ini membuat 95 persen guru memilih pembelajaran campuran antara daring dan luring.

Hal ini diketahui berdasarkan hasil survei kepada guru yang dilakukan  Ditjen GTK Kemendikbud bersama Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI).

"Di mana kurang kemampuan pembelajaran online penuh ditutupi atau diatasi dengan sesekali melakukan pembelajaran tatap muka," kata Praptono.

Baca juga: Bosan PJJ Alasan Siswa SMK Ikut Demo UU Cipta Kerja, Ada yang Dibayar Rp 5.000

Pada akhirnya lanjut Praptono, keterbatasan akses internet selama pandemi covid-19 memaksa guru untuk mengadaptasi teknologi digital.

"Akhirnya semua guru mau tidak mau harus bisa menjalankan pendidikan jarak jauh," ucap Praptono.

Meski begitu, Praptono mengungkapkan mayoritas guru di Indonesia masih memiliki kendala dalam melakukan pembelajaran berbasis teknologi informasi.

Kendala ini yang membuat proses pembelajaran menjadi tidak optimal dijalankan oleh para pengajar.

"Memang kemendikbud melakukan survei terkait PJJ. Salah satunya, kita dapatkan 60 persen guru kita punya permasalahan dalam pembelajaran IT," ungkap Praptono.

Baca juga: Sering Digunakan untuk PJJ, Nadiem Pastikan Aplikasi Whatsapp Masuk Dalam Kuota Belajar

Praptono mengatakan Kemendikbud telah mencoba mencari solusi terhadap kendala yang ditemui selama penerapan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi.

"Seiring perjakanan waktu dan berbagai upaya dilakukan, misal dengan bantuan kuota, kemudian bimbingan teknis kepada guru, portal guru belajar, menyiapkan media bahan ajar, RPP, praktek baik, termasuk bantuan infrastruktur di sekolah," ujar Praptono.

Seiring berjalannya waktu, Praptono mengungkapkan akhirnya terjadi penambahan pemahaman dan adaptasi guru terhadap pembelajaran jarak jauh yang berbasis teknologi digital.

"Tren bahwa kemampuan guru untuk bisa take over kegiatan-kegiatan akibat pandemi menunjukkan tanda-tanda ke arah baik," pungkas Praptono.

Baca juga: Kemenag Berikan Bantuan Paket Data Gratis untuk Siswa Madrasah yang Menjalani PJJ

Guru PJJ

Hasil survei Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud menunjukan mayoritas guru di Indonesia lebih memilih model pembelajaran jarak jauh. Education Team Leader Wahana Visi Indonesia Mega Indrawati mengatakan sebanyak 95 persen memilh pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran campuran.

"Soal strategi belajar dari 95 persen guru setuju akan pembelajaran jarak jauh atau blended learning," ucap Mega.

Guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) lebih memilih pembelajaran jarak jauh luring dibanding daring. Mega menduga hal ini kemungkinan karena keterbatasan akses internet dan infrastuktur untuk pembelajaran secara daring.

"Sementara guru untuk anak berkebutuhan khusus cenderung memilih pembelajaran daring," ujar Mega.

Selain itu, hasil survei ini juga menemukan bahwa guru dalam mengatasi masalah dalam kegiatan belajar mengajar memilih berkonsultasi dengan teman sejawatnya di satu sekolah atau sekolah lain.

Sementara guru di daerah 3T cenderung kurang memiliki akses ke komunitas guru di satuan pendidikan.

Terkait dengan kebutuhan pembelajaran yang efektif, dan pemanfaatan teknologi informasi, sebanyak 40 persen guru menyatakan butuh pelatihan.

"Terkait TIK, 40 persen guru 3T dan guru yang usianya lebih tua butuh pelatihan dasar TIK," kata Mega.

Selain itu, guru di daerah 3T juga lebih membutuhkan kompetensi Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) sebanyak 54 persen.

Sementara 31 persennya membutuhkan kompetensi tentang kurikulum.

Bagi guru di wilayah non 3T, kompetensi psikosisial lebih dibutuhkan. Guru pendidikan khusus juga membutuhkan kompetensi psikologis untuk mempersiapkan peserta didik.

Survei dilakukan kepada 27.046 guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi seluruh Indonesia. Survei dilakukan pada 18 Agustus hingga 5 September 2020.

Responden guru dari wilayah Non 3T 95 persen dan 3T 5 persen.

Sebanyak 74 persen merupakan guru dari pendidikan umum, sementara 26 persen dari pendidikan khusus atau inklusi.

Berdasarkan wilayah, 52 persen responden guru berasal dari daerah risiko penularan Covid-19 tinggi, dan sisanya dari wilayah Covid-19 dengan penularan rendah. Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud juga melakukan diskusi kelompok terarah yang melibatkan 47 orang perwakilan asosiasi guru, serta guru dari wilayah 3T, SLB dan kepala sekolah.

Berdasarkan hasil survei juga 76 persen guru merasa khawatir untuk kembali mengajar di tengah pandemi Covid-19.

"Pendapat guru terkait pembukaan sekolah, temuan utama 76 persen responden guru menyatakan bahwa sekolah kurang aman atau tidak bisa diprediksi. Sementara 24 persen guru beropini akan aman dan kecil kemungkinan penyebaran virus," ujar Mega.

Guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) cenderung menyatakan aman karena tingkat kasus Covid-19 di wilayah ini lebih sedikit.

Selain itu, ada tren guru usia yang lebih tua lebih khawatir dengan penularan Covid-19 di sekolah.

"Jika dibandingkan dari gender, yang perempuan punya kekhawatiran yang lebih tinggi dibanding pria," kata Mega.

Guru pendidikan khusus inklusi lebih cenderung khawatir dibandingkan guru satuan pendidikan umum. Mega mengungkapkan hal-hal yang menjadi kekhawatiran guru adalah transmisi Covid-19.

Para guru khawatir menulari siswa atau sebaliknya guru yang tertular dari siswa. Serta kekhawatiran keluarga siswa maupun guru yang tertular.

"Juga kekhawatiran tentang belajar mengajar yang tidak nyaman dan kurang efektif. Guru 3T juga lebih khawatir tentang pembelajaran dan Non 3T terkait masalah kesehatan," ucap Mega. (Tribun Network/fah/wly)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini