News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Cipta Kerja

Pembahasan Serampangan Dinilai Jadi Penyebab Kekisruhan UU Cipta Kerja

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa aksi buruh dan Mahasiswa saat menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (22/10/2020). Pada aksi tersebut mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo untuk menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dianggap tidak berpihak kepada buruh. Tribunnews/Jeprima

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kisruh mengenai UU Cipta Kerja bertambah setelah pihak istana menghapus pasal 46 soal minyak dan gas bumi (migas).

Sebelumnya, beragam versi UU Cipta Kerja dengan jumlah halaman yang berbeda juga beredar di masyarakat.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS Mulyanto menilai, semua itu melanggar aturan formal pembentukan perundang-undangan.

Menurutnya, kisruh mengenai UU Omnibus Law ini bermula dari permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pembahasan UU Cipta Kerja ini dikebut.

Sehingga tak heran dalam pembahasannya timbul berbagai persoalan, misalnya munculnya drama pasal 46 UU Migas dalam RUU Ciptaker, gonta-ganti naskah, dan recall 16 oktober yang merevisi 158 item RUU Ciptaker dalam dokumen 88 halaman sebagai upaya cleansing oleh Setneg.

Baca juga: KSPI Ralat Tanggal Aksi Tolak UU Cipta Kerja, 2 November, Serentak di 24 Provinsi dan 200 Kabupaten

Ribuan masa aksi yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama elemen serikat buruh lainnya melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan pemberhentian hubungan kerja (PHK) di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut bukanlah menolak pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja namun menolak pengesahan draft RUU Cipta Kerja yang dikirim oleh pemerintah kepada DPR. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Mulyanto mengatakan, kerja cepat yang diperintahkan presiden, praktik di lapangannya berubah menjadi kerja serampangan alias ugal-ugalan.

"Padahal pada saat awal pembahasan RUU Ciptaker ini, kita baru saja memasuki masa pandemi Corona, bencana kedaruratan kesehatan, yang sangat dahsyat, yang belum pernah dialami sebelumnya oleh bangsa kita," kata Mulyanto kepada wartawan, Senin (26/10/2020).

"Pembahasan RUU Ciptaker ini menerapkan protokol Covid-19, dengan membatasi peserta rapat untuk hadir fisik, sehingga kebanyakan anggota Panja hadir secara virtual dengan berbagai keterbatasannya," imbuhnya.

Baca juga: Aksi Serentak KSPI Tolak UU Cipta Kerja Dilaksanakan 2 November, Dipusatkan di Istana dan MK

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu mengaku heran pembahasan RUU Cipta Kerja harus dilakukan tergesa-gesa.

Padahal, lanjut dia, untuk menanganani pandemi Covid-19 pemerintah telah memiliki landasan hukum lainnya.

"Apakah RUU Ciptaker ditujukan untuk penanggulangan Covid-19? Bukankah untuk penanggulangan Covid-19, Pemerintah sudah membuat Perpu No. 1/2020 yang populer dengah sebutan Perppu Corona, yang kemudian disahkan menjadi UU. No. 2/2020. Bahkan dalam UU ini hak budgeting DPR dipangkas," ujarnya.

"Sebenarnya RUU Ciptaker ini tidak ada hubungannya dengan pandemi Covid-19, karena memang RUU ini sudah dirancang jauh-jauh hari sebelum musibah Corona itu datang. Dengan demikian, maka semestinya pembahasan RUU Ciptaker ini tidak harus tergesa-gesa, kejar tayang, menabrak hari libur, waktu reses, dan lain-lain," lanjut Mulyanto.

Mulyanto mengingatkan, saat menghadiri Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan di awal Januari 2020, presiden minta pembahasan omnibus law RUU Ciptaker perlu dipercepat agar pemerintah bisa melakukan reformasi di bidang perizinan.

Apalagi, banyak izin-izin yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, baik di provinsi, kabupaten, dan kota.

Jokowi saat sampaikan janji-janjinya (Tangkap layar channel YouTube KompasTV)
Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini