Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyaknya pedemo yang ditindak aparat memicu munculnya tudingan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) otoriter layaknya pemerintahan Orde Baru.
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto membantah tudingan tersebut.
Menurutnya penindakan aparat menyasar pelaku pelanggar hukum seperti merusak fasilitas umum maupun menyebar hoaks.
Baca juga: Hasil Survei Tunjukan Elektabilitas Ganjar Pranowo Ungguli Prabowo, Ini Respons PDIP
Karenanya, Hasto mengatakan rezim Jokowi bukanlah rezim otoriter.
Demokrasi di Indonesia sendiri dibangun dengan aturan main yang harus diikuti semua pihak.
"Demokrasi ini dibangun dengan aturan main, demokrasi ini harus mencerdaskan kehidupan bangsa, demokrasi ini disertai dengan etika, dengan perilaku yang baik, moralitas yang baik. Terhadap demonstrasi berulang kali, PDI Perjuangan menegaskan hak untuk menyuarakan pendapat itu diatur dalam konstitusi," ujar Hasto, selepas peresmian 13 kantor partai, patung Soekarno, dan sekolah partai secara virtual, Rabu (28/10/2020).
Baca juga: Elektabilitasnya Disebut Stagnan, PDIP : Berpolitik itu Bukan Memelototi Survei
"Tetapi demokrasi tidak boleh merusak. Ketika demo sudah merusak fasilitas umum, publik, disitulah aparat penegak hukum harus bertindak menegaskan hukum di atas segalanya. Menegakan hukum untuk memastikan kemananan dan ketertiban dalam masyarakat itu," imbuhnya.
Politikus asal Yogyakarta tersebut menegaskan apa yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam aksi demonstrasi beberapa waktu terakhir bukanlah tindakan represif.
Apalagi tindakan represif yang melanggar etika maupun aturan layaknya perilaku rezim otoriter pada Orde Baru.
Baca juga: Megawati Mengaku Banyak Pecat Kader PDIP yang Bermuka Dua
"Kalau represif itu gambarannya sangat jelas, yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru," kata Hasto.
Hasto juga menyebut bahwa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin selalu mengedepankan dialog.
Sehingga berbeda dengan era Orde Baru dan tudingan yang dialamatkan selama ini.
"Saat ini Pak Jokowi-Ma'ruf Amin itu adalah pemimpin yang terus membangun dialog, aspirasi dari masyarakat diterima. Dan demikian pula dengan PDI Perjuangan," katanya.
Ketua YLBHI Kritik Penangkapan Korlap Aksi
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritisi banyaknya koordinator lapangan (Korlap) demo unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah yang ditangkap oleh pihak kepolisian.
Menurut Asfinawati, hal tersebut merupakan bentuk kriminalisasi.
Sebab, Korlap ditangkap sebelum melakukan aksi unjuk rasa.
Baca juga: Pemerintah Diminta Luruskan Mispersepsi UU Cipta Kerja Korbankan Lingkungan Hidup
"Dari berbagai kota sudah mengabarkan, dari Surabaya, Balikpapan, Samarinda, Jember. Kawan-kawan kita ditangkap, korlap aksi di kriminalisasi. Mereka bahkan belum sampai ke tempat aksi. Mereka semata-mata ditangkap karena dia mau melakukan demonstrasi, dan apakah itu pemerintahan demokratis?" kata Asfinawati saat ikut hadir dalam unjuk rasa di Tugu Proklamasi, Jakarta, Rabu (28/10/2020).
Asfinawati mengatakan mayoritas koleganya yang ditangkap lantaran ikut menyerukan pembangkangan sipil.
Padahal, kata dia, hal itu bukanlah suatu yang melawan hukum.
Baca juga: Soal Halte Transjakarta Dibakar Saat Demo UU Cipta Kerja, Megawati: Enak Saja, Emangnya Duit Lo ?
"Kenapa mereka ditangkap? karena mereka menyerukan kekuatan sipil, mereka menyerukan pembangkangan sipil. Hari ini adalah tanggal 28 Oktober. Sumpah pemuda. Hari ini adalah pembangkangan sipil pemuda Indonesia pada tahun 1928, karena pada 1926 Belanda membuat aturan memisahkan 3 golongan, Timur Asing, Eropa, dan Pribumi," jelasnya.
Lebih lanjut, Asfinawati menyampaikan istilah pembangkangan sipil tidak hanya digunakan dalam sumpah pemuda saja.
Namun, kata dia, Indonesia bisa merebut kemerdekaan karena melakukan pembangkangan sipil.
"1945 tidak akan ada kemerdekaan Indonesia, tidak akan ada Indonesia. Kalau kita tidak lakukan pembangkangan sipil. Kalau bapak dan ibu kita dulu tidak melakukan pembangkangan sipil terus melawan kolonial Belanda. Meskipun mereka dipenjara, seperti sekarang. Jadi rakyat Indonesia dipenjara oleh Belanda dan tahun 2020 mahasiswa, pelajar, dipenjara oleh pemerintahnya sendiri," tegasnya.
Menurutnya, bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka hingga saat ini.
Baca juga: Demo UU Cipta Kerja di Patung Kuda, Remaja Merangsek Barisan Depan Goyang-goyangkan Kawat Berduri
Sebab pada era pemerintahan presiden Jokowi, hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum dinilai tidak lagi bebas.
Dijelaskan Asfinawati, banyak orang-orang yang kritis harus ditangkap dan masuk penjara.
Selain itu, banyak kasus peserta unjuk rasa yang dilakukan tindakan represif oleh aparat hingga meninggal dunia.
"September 2019 beberapa kawan kita gugur, meskipun yang ada di taman makam pahlawan selalu tentara, tidak ada mahasiswa, petani, pelajar, buruh yang gugur demi bangsa. Siapa yang sesungguhnya pahlawan dan penghianat bangsa?" jelasnya.
"Ribuan orang bisa mereka tembak, puluhan nyawa kawan-kawan kita hilang, dipenjara dan dilarang pimpin aksi, kita harus tahu sekali. Kita akan tetap hidup, karena perjuangan atas nama kemanusiaan perjuangan atas keadilan, akan melampaui sekat-sekat diantara kita seperti yang didengungkan tahun 1928, persatuan. Dan persatuan itu dibangun untuk pembangkangan sipil merebut kemerdekaan," ujarnya.