TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketegangan antara Amerika Serikat dan China terus meningkat belakangan. Saling kritik, kecam, bahkan mengancam kerap dilontarkan para pejabat dari kedua negara besar tersebut.
Konflik AS dan China sejatinya berpengaruh kepada geopolitik di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara. Apalagi Beijing memang sudah "bermasalah" terhadap sejumlah negara ASEAN terkait sengketa di Laut China Selatan.
Amerika pun memberikan dukungannya terhadap negara-negara ASEAN melawan China yang secara sepihak mengklaim kawasan tersebut bagian dari teritori mereka.
Baca juga: Mike Pompeo: AS Akan Temukan Cara Baru untuk Bekerja Sama Dengan Indonesia di Laut China Selatan
Hal ini kembali ditegaskan Menlu AS Mike Pompeo dalam konferensi pers bersama Menlu RI Retno Marsudi, Kamis (29/10/2020).
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo, hari ini.
Dalam pertemuan tersebut keduanya sepakat meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi dan pertahanan.
“Negara kami yang taat hukum menolak klaim tak berdasarkan hukum Partai Komunis China atas Laut China Selatan,” kata Pompeo dalam konferensi pers secara virtual.
Menurut Pompeo, Indonesia telah menunjukkan keberanian mengenai isu tersebut di Asia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga: Gandeng India, AS Perkuat Sekutunya untuk Awasi China
Ia menambahkan bahwa pihaknya mendukung Indonesia dalam isu tersebut.
“Itu adalah isu yang patut diperjuangkan dalam pengaturan multilateral dan pemerintahan Trump saat mendukung ini,” ucapnya.
Pompeo menegaskan bahwa AS, yang sebelumnya tidak berpihak pada sengketa wilayah, menolak klaim Beijing atas perairan lepas pantai Vietnam, Malaysia, dan Indonesia.
Baca juga: Sederet Senjata Canggih Buatan AS yang Dibeli Taiwan untuk Hadapi China
"Setiap aksi (China) yang mengusik pembangunan hidrokarbon atau perikanan negara lain di perairan ini atau menjalankan aktivitas semacam itu secara sepihak—adalah melanggar hukum," cetusnya.
"Dunia tidak akan mengizinkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai kekaisaran maritim"
Selama di Indonesia Pompeo juga mencontohkan perjuangan Indonesia menjaga kedaulatan maritimnya di Laut Natuna Utara.
Amerika Serikat pun menantikan kerja sama dengan Indonesia dalam hal memastikan keamanan salah satu jalur perdagangan tersibuk itu.
Dukungan Amerika
Washington baru-baru ini mengkritik China dalam beragam topik, mulai dari penanganan pandemi Covid-19, pelanggaran HAM terhadap komunitas minoritas Muslim di Xinjiang, hingga cara penanganan protes prodemokrasi di Hong Kong.
Namun, rangkaian proyek reklamasi tanah China di Laut China Selatan yang mendorong khalayak dunia untuk meninjau ulang ambisi internasional China.
Dan pertaruhan di kawasan ini amat tinggi. Pada kepulauan dan karang yang tampaknya tidak signifikan ini, ada risiko konflik militer yang kian tinggi antara dua negara paling kuat di dunia.
Pompeo mengatakan AS berdiri "bersama para sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam melindungi hak kedaulatan pada sumber daya lepas pantai".
Ditambahkannya, posisi ini "konsisten dengan hak dan kewajiban kami di bawah hukum internasional".
Ada apa di balik sengketa Laut China Selatan?
Laut China Selatan beberapa tahun terakhir menjadi sumber ketegangan antara China dan sejumlah negara lain yang sama-sama mengklaim hak kedaulatan atas dua kepulauan tak berpenghuni, Paracel dan Spratly.
China mengklaim sebagian besar wilayah itu dengan alasan nelayan-nelayan China telah berlayar ke sana selama berabad-abad lalu.
Kawasan itu memang dikenal kaya dengan sumber perikanan dan ditengarai banyak menyimpan cadangan gas dan minyak.
AS selama ini kritis dengan militerisasi China di kawasan itu dan kerap membuat marah Beijing dengan misi "kebebasan navigasi".
Pada Agustus 2018, tim BBC menumpang pesawat militer AS yang melintas di atas kepulauan yang disengketakan di Laut China Selatan.
Dalam komunikasi radio, pilotnya diperingatkan untuk "segera" meninggalkan kawasan itu guna "menghindari kesalahpahaman"
Beberapa bulan kemudan, China menempatkan pesawat pengebom di kawasan itu untuk ikut ambil bagian dalam latihan militer.
China sebelumnya menuding Angkatan Laut AS memprovokasi dan ikut campur dalam urusan regional.
Posisi Indonesia
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto baru saja mengunjungi Amerika Serikat. Terkait hal itu, banyak pihak yang mempertanyakan apakah kunjungannya juga berhubungan dengan posisi Indonesia di Laut China Selatan.
Pengamat Militer Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis (LESPERSSI) Beni Sukadis meyakini posisi Indonesia tetap netral dalam menyikapi konflik Laut China Selatan (LCS) antara China dan Amerika Serikat.
"Saya yakin Indonesia masih netral dengan melakukan hal sama yakni tidak melakukan apa-apa, sambil terus bersikap tegas bagi pihak-pihak yang melanggar ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia," ujar Beni saat dihubungi Kompas.com, Selasa (27/10/2020).
Beni menuturkan, kunjungan Prabowo ke AS sangat berkaitan dengan kompetisi di LCS.
Menurutnya, AS berupaya meyakinkan Indonesia untuk bersepakat menghormati hukum laut internasional di wilayah LCS.
"Tentunya Indonesia sepakat bahwa semua negara harus mematuhi hukum internasional dan tidak boleh ada yang mendominasi, apalagi mengklaim sepihak sebagian wilyah LCS," kata dia.
Di samping itu, Beni menilai bahwa Indonesia akan mengambil sikap ketika terdapat negara yang terbukti melanggar kedaulatan Tanah Air.
"Jadi pesannya bagi siapapun yang melanggar kedaultan RI, jelas harus berhadapan dengan militer Indonesia. Sehingga program pengadaan alutsista sangat krusial saat ini," terang dia.
Sebelumnya, Prabowo mengunjungi AS pada 15-29 Oktober 2020. Lawatan tersebut dalam rangka memenuhi undangan Menhan AS Mark Esper. Keduanya bertemua di Gedung Pentagon, AS. Diketahui, ketegangan antara Negeri "Panda" dan Negeri "Uncle Sam" telah meningkat selama berbulan-bulan terakhir.
Kunjungan PM Jepang
Pekan lalu, Perdana Menteri (PM) Jepang Yoshihide Suga telah bertemu Presiden Joko Widodo ( Jokowi) dan keduanya sepakat untuk melanjutkan kerja sama di berbagai bidang, terutama kesehatan, keamanan, dan ekonomi.
Indonesia menjadi negara kedua tujuan kunjungan luar negeri pertama PM Suga yang baru dilantik pada 16 September lalu.
Dalam pertemuan pada Selasa (20/10/2020), salah satu kesepakatan yang diraih oleh dua pemimpin adalah mempercepat pembahasan ekspor senjata dan teknologi militer dari Jepang ke Indonesia.
Sejumlah pengamat mengatakan, kunjungan PM Suga ke Vietnam dan Indonesia mencerminkan tanggapan atas dominasi China di Laut China Selatan dengan mendukung upaya Asia Tenggara dalam mencapai perdamaian di kawasan, sambil mempromosikan konsep Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka (FOIP).
"Sehubungan dengan isu-isu regional, termasuk Korea Utara dan Laut China Selatan, kami sepakat bahwa Jepang dan Indonesia akan bekerja sama secara erat," kata PM Suga dalam konferensi pers bersama Jokowi seusai pertemuan.
"Saya mendukung penuh ASEAN dalam Indo-Pacific, yang digagas Indonesia, karena memiliki banyak kesamaan mendasar dengan Indo-Pasifik Jepang yang bebas dan terbuka," ujarnya.
Sementara itu, Jokowi menyambutnya dengan menyampaikan harapan agar Laut China Selatan dapat terus menjadi laut yang damai dan stabil.
Sebelum mengunjungi Vietnam dan Indonesia, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Katsunobu Kato mengatakan, Jepang berusaha untuk mempromosikan visi Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
China anggap langkah Jepang sebagai ancaman
Sejumlah pengamat di China mengatakan, kunjungan PM Suga ke Vietnam dan Indonesia menandakan bahwa Jepang secara aktif mulai membantu dan memastikan strategi Indo-Pasifik untuk menahan pengaruh China di kawasan Asia Tenggara.
Media milik Partai Komunis China, The Global Times, melaporkan, para pengamat juga mengkhawatirkan jika kesepakatan yang dibuat oleh Jepang di Asia Tenggara justru akan mengancam stabilitas perdamaian di kawasan.
The Global Time mengutip pernyataan Da Zhigang, direktur dan peneliti dari Institute of Northeast Asian Studies di Heilongjiang Provincial Academy of Social Sciences, yang mengatakan kesepakatan militer malah akan meningkatkan kesulitan untuk mencapai konsensus multilateral atas sengketa Laut China Selatan.
Kerja sama militer antara Jepang dan Vietnam, misalnya, sudah berlangsung lama. Akan tetapi, menurutnya langkah kali ini sudah "terlalu jauh" dan akan berpengaruh pada hubungan Jepang dan China.
Da berpendapat, Jepang boleh saja meningkatkan hubungannya dengan negara-negara Asia Tenggara melalui etika diplomatik, tetapi Jepang tidak dapat menggantikan posisi China di ASEAN, apalagi dalam konteks pandemi Covid-19 dan kondisi ekonomi di kawasan tersebut.
Sementara itu, Kuni Miyake dari Canon Institute for Global Studies, yang juga penasihat khusus kabinet PM Suga, pernah menulis opini di media Jepang bahwa perdana menterinya jauh lebih fasih berbicara soal China tanpa harus menyebutkan nama negaranya, dibandingkan pemerintahan Shinzo Abe sebelumnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul:
"Posisi Indonesia Diyakini Tetap Netral dalam Konflik LCS Usai Prabowo Kunjungi AS"
AS akan Cari "Cara Baru" Jalin Kerja sama dengan Indonesia di Laut China Selatan