TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Uang suap yang berasal dari terpidana kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra, diduga mengalir ke atasan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte di Mabes Polri.
Hal itu terungkap dalam sidang perdana kasus dugaan suap terkait penghapusan Red Notice Djoko Tjandra dengan agenda pembacaan surat dakwaaan terhadap Irjen Napolen di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengungkapkan bahwa uang suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus namanya di Daftar Pencarian Orang (DPO) dilakukan di Gedung TNCC Mabes Polri, Jakarta Selatan. Perantara Djoko ialah pengusaha H Tommy Sumardi.
Jaksa mengatakan, awalnya Tommy diminta Djoko Tjandra untuk melihat status Red Notice terhadap namanya di Indonesia.
Hal itu menyusul informasi yang didapat Djoko Tjandra bahwa Interpol Red Notice atas nama dirinya sudah dibuka oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis.
Baca juga: Transaksi Suap Penghapusan DPO Djoko Tjandra Terjadi di Gedung TNCC Mabes Polri
"Agar Djoko Soegiarto Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka Djoko Soegiarto Tjandra bersedia memberikan uang sebesar Rp10 miliar melalui H Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pihak yang turut mengurus kepentingan Djoko Soegiarto Tjandra masuk ke Indonesia terutama kepada pejabat di NCB Interpol Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri," kata jaksa membacakan surat dakwaan terhadap Napoleon.
Tommy lantas meminta bantuan kepada eks Kabiro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo, di kantornya.
Tommy meminta Prasetijo untuk memeriksa status Interpol Red Notice Djoko Tjandra. Kemudian, Prasetijo mengenalkan Tommy Sumardi kepada Napoleon selaku Kadiv Hubinter Polri saat itu.
Jaksa menjelaskan, pada 16 April 2020, Tommy dengan membawa paper bag warna merah tua tiba di ruangan Napoleon yang berada di Gedung TNCC Mabes Polri. Dalam dakwaan ini, jaksa tidak memaparkan lebih lanjut isi paper bag itu.
Namun demikian, Tommy menanyakan kepada Napoleon ihwal status interpol Red Notice Djoko. Lalu, Napoleon mengaku akan memeriksanya dan meminta Tommy untuk datang kembali keesokan harinya.
Keesokan harinya, Tommy bersama Prasetijo menemui Napoleon Bonaparte di ruangan Kadiv Hubinter Polri.
Dalam pertemuan tersebut Napoleon menyampaikan bahwa Red Notice Djoko bisa dibuka, karena kantor pusat Interpol di Lyon yang membuka.
Dalam pertemuan itu, Napoleon mengaku awalnya bisa membantu menghapus red notice di Indonesia asal dibayar Rp3 miliar.
Namun akhirnya, Napoleon meminta harga lebih tinggi senilai Rp7 miliar karena untuk mengamankan atasannya juga. Dalam dakwaan, tidak disebut siapa atasannya itu.
"Naik ji (Tommy Sumardi, red) jadi 7 (miliar) Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'," kata jaksa menirukan pernyataan Napoleon.
Tommy akhirnya menyerahkan uang sekitar Rp6 miliar secara bertahap kepada Napoleon di ruang kerjanya.
Uang suap dari Djoko Tjandra tersebut diberikan Tommy kepada Napoleon dalam bentuk 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.
Irjen Napoleon didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.