TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Presiden Ma'ruf Amin menekankan pendapat yang menyatakan bentuk negara Indonesia saat ini membuat umat Islam tidak dapat menjalankan syariat Islam adalah pandangan yang keliru.
Pasalnya, sebagian besar syariat Islam telah tertuang dalam hukum perundang-undangan negara.
“Di dalam masalah muamalah, bahkan bukan hanya boleh, tapi diberi undang-undangnya. Sudah ada undang-undang tentang jaminan produk halal, makanan halal. Pengamalan akidah sudah ada. Bahkan, mungkin masalah Jinayat itu sudah ada. Memang belum seluruhnya, itu yang masih debatable (masih bisa diperdebatkan) itu (yang belum), beberapa tafsir. Tapi sebagian besar sudah ada pada sistem kenegaraan,” katanya dalam wawancara dengan Nusantara TV melalui video konferensi, Senin (9/11/2020).
Baca juga: Wapres Maruf : Bentuk NKRI Hasil Kesepakatan Bersama
Lebih lanjut, mengenai kelompok separatis yang muncul dan mengangkat isu khilafah, Ma'ruf menyebut ada mispersepsi yang terjadi dan perlu untuk diklarifikasikan.
“Ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, memang ada mispersepsi tentang khilafah. Ada kepahaman bahwa sistem dalam Islam itu harus khilafah," katanya.
Padahal, menurut Ma'ruf, sistem khilafah memang ada dalam Islam, diterima di negara Islam, tapi sistem kerajaan juga ada yang menerima, seperti di Arab Saudi.
"Karena memang kesepakatan di sana adalah sistem kerajaan. Sistem republik juga ada, selain di Indonesia, di Pakistan, Iran, Turki, Mesir, jadi disepakati juga oleh ulama di sana. Jadi bukan berarti bentuk negara republik itu tidak Islami,” terang Wapres.
Kedua, lanjut Ma'ruf, adanya pemahaman seakan-akan Indonesia ini masih bisa digonta-ganti adalah salah, karena kesepakatan hukumnya mengikat.
Sebagaimana yang diamanahkan surah An Nisa ayat 92 bahwa umat Islam diajarkan untuk berkomitmen menjaga kesepakatan atau memenuhi perjanjian.
“Orang Islam itu harus patuh pada perjanjian yang mereka buat,” pungkas Wapres