Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Panel Majelis Konstitusi Arief Hidayat mengatakan permohonanan uji materi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh serikat buruh, memiliki tiga klaster pemohon berbeda.
Tiga kelompok itu meliputi klaster unsur konfederasi serikat pekerja, klaster federasi serikat pekerja, dan klaster pekerja.
Baca juga: Serikat Buruh Harus Beri Solusi Kekosongan Hukum Jika UU Cipta Kerja Diputuskan Inkonstitusional
Sebagai informasi, perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP. Faskes-R), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), hingga pekerja tetap, pekerja kontrak, dan pekerja alih daya.
"Jadi pemohon ini ada tiga klaster. Pada waktu menguraikan legal standing itu menyangkut berarti dalam permohonan disebutkan, terdiri dari pemohon konfederasi, federasi dan pemohon pekerja," kata Arief dalam sidang daring Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/11/2020).
Dalam sidang yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan ini, Arief menyampaikan bahwa pemohon perlu lebih mengurai kerugian konstitusional yang berkaitan dengan berlakunya UU Cipta Kerja.
Baca juga: MK Gelar Sidang Perdana Gugatan UU Cipta Kerja, Pemohon dari Serikat Pekerja Cantumkan 92 Petitum
Sebab dalam telaahnya,, Arief menilai permohonan pemohon masih terkesan lebih banyak dirugikan dari sisi ekonomi ketimbang sisi konstitusional.
"Saya punya kesan lebih banyak kerugiannya bukan konstitusional tapi lebih banyak menyangkut bersifat ekonomis," ucap dia.
Tapi kata dia, bisa saja kerugian konstitusional yang dialami pemohon berawal dari kerugian pada sisi ekonomi. Hal itu perlu dijabarkan lagi oleh pemohon dalam berkas permohonannya.
"Bisa saja berawal dari kerugian ekonomi yang berakibat kerugian konstitusional dari tiga klaster itu," ucapnya.
Dalam permohonan ini, pemohon mencantumkan 92 petitum. Secara garis besar, pemohon menyoal 12 poin utama.
Meliputi persoalan Lembaga Pelatihan Kerja, Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pekerja Alih Daya, Waktu Kerja, Cuti, Upah, Pemutusan Hubungan Kerja, Uang Pesangon (UP), Penghargaan Masa Kerja (PMK), Uang Penggantian Hak (UPH), Penghapusan Saksi Pidana, dan Jaminan Sosial.
Terdapat 3 Pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang digugat, antara lain Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83.
Salah satu yang digugat yaitu frasa "Alih Daya" dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Alih dan Daya merupakan kata sendiri - senfiri, dengan Alih berarti pindah atau ganti, dan Daya berarti kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak.
Bila digabungkan, pemohon menilai dalam konteks hubungan kerja Alih Daya diartikan sebagai menukar atau mengganti pekerja yang berstatus tetap dengan pekerja dari perusahaan alih daya. Alias frasa itu bisa memunculkan perbudakan modern, perdagangan manusia untuk dipekerjakan orang lain.
Menurut pemohon diubahnya pasal UU Ketenagakerjaan berpotensi menciptakan perbudakan zaman modern kepada pekerja karena syarat tentang jenis dan sifat pekerjaan yang sebelumnya diatur dalam pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan telah dihapus melalui UU Cipta Kerja.