TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian RI menanggapi keputusan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menghapus ganja dari daftar narkotika atau obat terlarang paling berbahaya di dunia.
"PBB memindahkan ganja dan turunannya dari golongan 1 ke golongan 4, bukan menghapus sama sekali," kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar saat dihubungi, Jumat (4/12/2020).
Krisno menyampaikan pro-kontra mengenai ganja sebagai kepentingan medis telah menjadi pembicaraan sejak lama dalam negara yang tergabung PBB.
Sementara itu, kata Krisno, Indonesia selalu berada di posisi yang kontra mengenai ganja digunakan sebagai kepentingan medis.
"Isu ganja untuk kepentingan medis sudah menjadi diskusi antar negara-negara anggota PBB, ada yang pro dan kontra. Indonesia menjadi salah satu negara yang kontra," jelasnya.
Lagipula, ia menyampaikan keputusan yang disampaikan PBB tidak harus mengikat kepada negara-negara yang tergabung di dalamnya. Setiap negara berhak mengadopsi kedaulatan hukumnya masing-masing.
Baca juga: PBB Legalkan Ganja untuk Pengobatan, DPR Tidak Setuju, Pemerintah RI Diminta Segera Terbitkan Aturan
Sebaliknya, Polri masih akan berpedoman dengan Undang-Undang yang berlaku terkait pelarangan ganja dikonsumsi untuk masyarakat. Polri juga akan menindak hukum bagi siapapun yang mengkonsumsi ganja.
"Masing-masing negara punya kedaulatan hukum masing-masing. Polri adalah instansi negara penegak hukum. Jadi sepanjang UU RI tentang Narkotika tentang ganja dilarang untuk dipergunakan kepentingan medis vide pasal 8 UU RI Nomor 35/2009 maka Polri sebagai penyidik akan menegakkannya," pungkasnya.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelumnya menghapus ganja dari daftar narkotika atau obat terlarang paling berbahaya di dunia, pada Rabu (2/12/2020) waktu setempat.
Keputusan ini sangat mengantisipasi dan membuka jalan untuk perluasan penelitian ganja dan penggunaan medisnya.
Keputusan itu terjadi setelah dilakukan pemungutan suara oleh Komisi PBB untuk Obat Narkotika, yang berbasis di Wina dan mencakup 53 negara anggota.
New York Times, Kamis (3/12/2020) melaporkan, keputusan ini telah mempertimbangkan serangkaian rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang reklasifikasi ganja dan turunannya.
Para ahli mengatakan, pemungutan suara tidak akan berdampak langsung pada pelonggaran kontrol internasional karena pemerintah masih akan memiliki yurisdiksi tentang cara mengklasifikasikan ganja.
Namun banyak negara melihat konvensi global ini sebagai pedoman dan pengakuan PBB sebagai kemenangan simbolis bagi para pendukung perubahan kebijakan narkoba yang mengatakan bahwa hukum internasional sudah kedaluwarsa atau ketinggalan zaman.
"Ini adalah kemenangan bersejarah yang sangat besar bagi kami, kami tidak bisa berharap lebih," kata Kenzi Riboulet-Zemouli, seorang peneliti independen untuk kebijakan narkoba.
Dia mengatakan bahwa ganja telah digunakan sepanjang sejarah untuk tujuan pengobatan dan keputusan pada hari Rabu mengembalikan status itu guna digunakan dalam dunia medis.
Perubahan ini kemungkinan besar akan memperkuat penelitian medis dan upaya legalisasi di seluruh dunia.
Pemungutan suara ini adalah "langkah besar ke depan," dan mengakui dampak positif ganja pada pasien, menurut Dirk Heitepriem, Wakil Presiden di Canopy Growth, sebuah perusahaan berbasis di Kanada.
"Kami berharap ini akan memberdayakan lebih banyak negara untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan pasien yang membutuhkan untuk mendapatkan akses ke pengobatan."