TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Permasalahan tata ruang muncul akibat ketersediaan lahan relatif tetap sedangkan jumlah penduduk dan aktivitasnya terus bertambah.
Pengendalian pemanfaataan ruang diperlukan agar tercipta tertib tata ruang dengan memastikan bahwa pemanfaatan ruang sejauh mungkin sesuai dengan rencana tata ruang.
Dalam prinsip manajemen biasa pun selalu ada fungsi kontrol, seperti ditunjukkan dalam POAC (planning, organizing, actuating, and controlling).
Hal ini dikatakan Ir Wisnubroto, CES, M. Dev. Plg, Direktur Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
Dikatakan Wisnu, dalam situasi mekanisme pasar yang sangat dominan sehingga pemilik kapital dapat sangat menentukan pembentukan pemanfaatan ruang.
"Seringkali dikatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang berfungsi sebagai garda pengawal kepentingan publik dan penjaga terciptanya keadilan social (the guardian of public interest and social justice),” jelas Wisnu dalam keterangannya, Senin (21/12/2020).
Ia memaparkan bahwa dalam pelaksanaan penataan ruang terdapat tiga aktivitas utama, yakni perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam hal ini, Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menjalankan fungsi aktivitas yang terakhir tersebut.
Baca juga: Anies Baswedan Akui Kasus Covid Meroket, Dinkes DKI Sebut Kapasitas Ruang Isolasi Sisa 15 Persen
Tahapan yang penting dalam menjalankan fungsi tersebut adalah menemukenali ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang atau kondisi tata ruang saat ini dengan rencana tata ruangnya yang memiliki jangkauan periode 20 tahun.
Ketidaksesuaian antara kondisi tata ruang saat ini dengan rencana tata ruangnya tidak selalu merupakan sebuah pelanggaran. Kemungkinan sebuah pola peruntukan ruang tidak sama dengan rencana tata ruangnya karena memang pola ruang tersebut belum terwujud sebagaimana yang direncanakan.
Kondisi lain, Wisnu mencontohkan, melalui sebuah citra satelit ditemukan sebuah komplek bangunan sekolah yang luas berada pada peruntukan lahan ruang terbuka hijau (RTH) pada dokumen rencana tata ruangnya.
Setelah diteliti ternyata bangunan sekolah tersebut sudah berdiri dan berfungsi dengan baik jauh sebelum rencana tata ruang tersebut dilegalisasikan atau di-perda-kan.
Hal ini dapat ditafsirkan bahwa terdapat kekurangcermatan dalam proses penyusunan rencana tata ruang apabila sekolah tersebut masih tetap akan difungsikan. Ketidaksesuaian seperti ini dapat diakomodasi dalam revisi rencana tata ruang.
Wisnu menggambarkan, bila dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi melalui citra satelit ditemukan sebuah industri berada pada lahan yang diperuntukan untuk sawah dan industri tersebut ternyata dibangun pada tahun 2018 sedangkan rencana tata ruang wilayah (RTRW)-nya ditetapkan pada tahun 2014, maka ketidaksesuaian itu dikategorikan sebagai sebuah pelanggaran.