TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Sukamta mengkritisi langkah pemerintah yang lebih memaksimalkan polisi siber untuk mengawasi kabar di media sosial, dibanding memberantas penipuan online.
"Terkait dengan patroli polisi siber, tugas utama lain yang seharusnya ditingkatkan adalah penanganan kasus penipuan online," ujar Sukamta dalam keterangannya, Jakarta, Selasa (29/12/2020).
Dalam 5 tahun terakhir, kata Sukamta, jumlah laporan mencapai 13.520 dengan total kerugian mencapai Rp 1,17 trilliun.
Baca juga: Polisi Ungkap Profesi MYD dan Motif Gisel Rekam Video Syur, Secepatnya akan Lakukan Pemanggilan
Dari laporan tersebut, laporan penipuan online mencapai 7.047 laporan, atau lebih banyak dari laporan penyebaran konten provokatif 6.745 kasus.
"Ini jumlah aduan dan kerugian yang besar, namun tidak ada langkah serius dan strategis yang dilakukan pemerintah. Pemerintah malah sibuk melakukan kontra wacana terhadap pengkritiknya," tutur politikus PKS itu.
Menurutnya, fokus polisi siber yang lebih diutamakan pada penindakan terhadap suara-suara kritis terhadap pemerintah, bisa mengkebiri kebebasan berpendapat masyarakat.
"Hal ini menjadi perseden buruk bagi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi yang di jamin UUD 1945," ucapnya.
Ia menyebut, upaya kontra wacana ataupun hoaks bisa ditangkal jika pemerintah tidak memberi ruang, atau bahkan memicu wacana berkembang liar yang pada akhirnya memunculkan berita bohong.
"Salah satu cara yang belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah, memaksimalkan Kominfo sebagai kementrian yang mengelola komunikasi dan informasi," tuturnya.
"Selama ini Kominfo hanya menjalankan fungsi informasi dengan pekerjaan paling terlihat yaitu memblokir website, akun media sosial.
Sedangkan fungsi komunikasi yaitu membangun komunikasi dengan berbagai pihak yang kritis belum berjalan dengan baik," sambung Sukamta.