"Memang kalau sudah kondisi seperti itu, maka pilot harus mengambil keputusan apakah menghindar atau bisa tembus," ujar Wenas.
Ia juga menyampaikan, keputusan untuk mengindar maupun menembus cuaca buruk merupakan keputusan subjektif dari pilot.
Juga, setiap perubahan penerbangan seharusnya dilaporkan kepada petugas pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC).
Kecuali, jika komunikasi tersebut tidak sempat terjadi karena kondisi darurat.
"Kalau komunikasinya tidak sempat, kita harus mencoba menganalisa kenapa tidak ada komunikasi yang normal," ungkap Wenas.
Baca juga: Suaminya Jadi Korban Sriwijaya Air SJ 182, sang Istri Ungkap Pesan Terakhir: Jaga Kesehatan Ya Bu
"Meskipun komunikasi tidak jelas, radar bisa mendeteksi gerakan pesawat selama kodenya sama," tambahnya.
Wenas menduga, kode yang didapat dari radar penerbangan, Sriwijaya Air ini tidak mengalami kelainan dari faktor luar seperti adanya terorisme.
Ia menyebut, kru pesawat diduga mengalami kondisi darurat yang mengharuskan mengindar dari badai petir (thunderstorm) atau memasukinya.
"Dikejadian ini, kode itu tetap dipakai dengan kita dapat asumsi bahwa tidak terjadi kelainan dari luar, dalam arti ada terorisme."
"Jadi kita beranggapan kondisi saat itu masih normal, cuma kemungkinan besar kru mengambil keputusan untuk masuk atau tidak masuk ke thunderstorm," jelas Wenas.
Namun sekali lagi, menurut analisisnya, kesimpulan penyebab kecelakaan masih belum bisa dipastikan karena harus melalui tahap investigasi yang cukup panjang.
Baca juga: Kemenhub Pastikan Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 dalam Kondisi Laik Udara Sebelum Terbang
Terlebih harus menganalisis FDR (flight data recorder) dan CVR (cockpit voice recorder) dari kotak hitam atau black box pesawat bila sudah ditemukan.
"Kemungkinan banyak, makanya kita masuk ke fase investigasi nanti kalau FDR dan CVR sudah ketemu."
"Tapi speed flight cukup tajam dan kecepatan cukup tinggi, kita bisa berasumsi pesawat itu sudah all out control," ujarnya.