Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadwalkan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah dan Bupati Kaur Gusril Pausi sebagai saksi kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster atau benur yang menjerat eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Kedua kepala daerah itu dijadwalkan diperiksa pada Senin (18/1/2021) hari ini.
"Benar, sesuai informasi yang kami terima, Senin (18/1/2021), Gusril Pausi, Bupati Kaur dan Rohidin Mersyah, Gubernur Bengkulu dijadwalkan pemeriksaan sebagai saksi oleh tim penyidik KPK," ujat Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Minggu (17/1/2021).
Tim penyidik KPK harusnya telah menjadwalkan pemeriksaan terhadap Gusril pada Senin (11/1/2021) dan Rohidin pasa Selasa (12/1/2021).
Akan tetapi, Gusril tidak memenuhi panggilan pemeriksaan tanpa konfirmasi kepada penyidik.
Sementara surat panggilan terhadap Rohidin ketika itu belum diterima yang bersangkutan.
Untuk pemeriksaan hari ini, Ali memastikan surat panggilan pemeriksaan telah disampaikan kepada keduanya.
Dikatakan Ali, Rohidin dan Gusril akan diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Ali mengingatkan keduanya untuk hadir dan memenuhi panggilan pemeriksan penyidik.
"Kami memanggil seseorang sebagai saksi tentu karena kebutuhan penyidikan dengan tujuan untuk membuat terang rangkaian perbuatan para tersangka dalam perkara ini," tegas Ali.
Sebelumnya, pada Kamis (14/1/2021) tim penyidik KPK telah memeriksa Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu Edwar Heppy.
Dalam pemeriksaan ini, tim penyidik mencecar Edwar mengenai proses perizinan usaha tambak di Kabupaten Kaur.
Baca juga: KPK Sita Tas dan Baju Merek Ternama yang Dibeli Edhy Prabowo di Amerika
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor.
Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy.
PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp 1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri.
Baca juga: KPK Panggil Dirjen Perikanan Budidaya KKP di Kasus Suap Ekspor Benur Edhy Prabowo
Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020.
Sekitar Rp 750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp 3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap.
Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp 9,8 miliar.