Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Lutfi Bakhtiyar, pegiat kebangsaan yang telah 16 tahun berdomisili di Jepang, mengajak WNI yang ada di Jepang khususnya kalangan Islam belajar bijak dari empat tokoh.
Empat tokoh yang dimaksud adalah Prof Dr KH Said Aqil Siradj MA, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); Prof Dr AG H Muhammad Quraish Shihab Lc MA; Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha).
"Saya sangat berharap para WNI di Jepang mungkin bisa belajar bijak dari empat tokoh Islam tersebut. Mungkin saja ada hal kecil yang tidak sependapat namun itu wajar-wajar saja. Pokok pikiran empat tokoh itu sangat bijaksana dan tidak ada salahnya kita pelajari bersama," papar Lutfi khusus kepada Tribunnews.com, Rabu (20/1/2021).
Dunia Islam di Jepang menurut Lutfi yang menginginkan WNI di Jepang fokus ke bidang politik ketimbang ekonomi, dipengaruhi oleh mereka kalangan radikalis.
"Orang kita lebih banyak bergerak di dunia kultural. Tabliq akbar yang memunculkan ustaz mereka kalangan radikal jauh dibandingkan pengajian yang dihadiri ulama besar kita. Misalnya Muhammad Quraish Shihab yang datang ke Tokyo dihadiri bisa dihitung kira-kira 200 orang. Tapi yang didatangkan ke Jepang oleh kalangan radikal bisa dihadiri seribuan sampai ke luar masjid," paparnya.
Baca juga: Hasil Survei di Jepang: Hanya 9% Orang Jepang Pakai Baju Pantai Kalau Santai
Mengapa bisa terjadi demikian?
"Karena mereka pintar bermain di wilayah kelembagaan. Radikalisme di Jepang tidak berdiri sendiri.
Datang bersama gelombang politik, investasi politik saat kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Zero Enemy, dimanfaatkan mereka benar oleh kelompok radikal," kata dia.
Di Jepang menurut Lutfi, masyarakat tak mengerti buat apa berpolitik.
"Kita sendiri kerja mati-matian belum tentu sukses. Tapi politik mereka sangat pintar membujuk dan pintar menguasai KBRI terutama KMII (Keluarga Masyarakat Islam Indonesia di Tokyo) dan lembaga lain," ujarnya.
Orang dari Indonesia, menurutnya, jika ada pengajian dengan logo KBRI, pasti banyak yang hadir, lalu dimanfaatkan oleh orang-orang radikal di Jepang.
"Banyak orang kita tidak mengerti berpolitik. Misalnya jadi Ketua KMII atau organisasi lain. Dengan karir yang mereka lakukan, orang lain akan melihat kebijakan yang dibuatnya, lihat jejak digitalnya. Lalu pertanyaannya, ada di kepengurusan kok meresahkan masyarakat berkali-kali. Itu jadi masalah," ujarnya.
Lutfi menekankan tidak menyinggung pribadi orang.
"Saya tak singgung pribadi tetapi kelembagaan. Itu biasa saja. Orang di sini tidak sadar yang mereka lakukan. Mereka berpolitik cari jabatan tapi malah kehilangan pekerjaan, lalu buat apa kalau begitu? Saya kasihan juga sebenarnya. Jadi kembalilah jadi orang biasa saja."