TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah menilai peraturan tentang Pemilu sebaiknya tidak perlu sering diubah, karena dapat ganggu stabilitas demokrasi di dalam negeri.
"Persentase naik turun angka sesungguhnya karya, ini merupakan gangguan yang terus-menerus terhadap demokrasi kita dan itu tidak relevan. Jadi menurut saya revisi UU Pemilu itu tidak terlalu penting," kata Fahri dalam keterangannya, Jakarta, Kamis (28/1/2021).
Menurut Fahri, terpenting dalam aturan yaitu seberapa hebat undang-undang dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang menyebabkan Pemilu menjadi cedera.
Misalnya, mengantisipasi politik uang, berbagai kecurangan, baik sebelum Pemilu pada saat pelaksaan dan pasca Pemilu atau pada saat sengketa.
"Ini sebenarnya yang jauh lebih penting direncanakan, dari pada sekedar perubahan angka-angka yang sebenarnya tidak ada dasarnya," papar Fahri.
"Tanggapan pembahasan rancangan undang-undang sebenarnya agak unik memang di Indonesia ini, karena setiap Pemilu dan setiap pertandingan peraturannya dibuat kembali dan diubah-ubah kembali. Itu sesuatu yang sebenarnya mengganggu stabilitas demokrasi kita di Indonesia," sambungnya.
Baca juga: Sarankan Pilkada Serentak Tetap 2024, PDIP: Sebaiknya Tak Perlu Diubah dalam RUU Pemilu
Oleh sebab itu, kata Fahri, alangkah baiknya apabila Presiden membakukan UU Pemilu, agar peraturan tidak terlalu sering diubah.
"Yang paling penting dari rancangan atau UU Pemilu, selain mendesain dan mengantisipasi penyelenggaraan tapi juga legitimasi dari pada penyelenggaraan Pemilu itu sendiri, sebagai wahana representasi dari seluruh rakyat Indonesia, sehingga semua orang merasa berpartisipasi di dalam demokrasi kita," paparnya.
Diketahui, revisi UU Pemilu, DPR menggunakan dua istilah baru yaitu Pemilu Nasional dan Pemilu daerah. Drafnya sendiri sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas DPR 2021.
Ada sejumlah perubahan mengenai Pemilu Nasional dibanding UU sebelumnya, dimana dalam draft Revisi UU Pemilu, Pemilu Nasional adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), pemilu anggota DPR, pemilu anggota DPD, pemilu anggota DPRD Provinsi, dan pemilu anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu Nasional akan digelar di hari yang sama.
Pasal 734 Ayat (2) draf RUU Pemilu mengatakan pelaksanaan Pemilu Nasional pertama kali akan digelar pada 2024 mendatang. Selanjutnya, penyelenggaraan Pemilu Nasional akan digelar setiap 5 tahun sekali.
Kemudian soal eks anggota organisasi terlarang di Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) setara dengan eks Partai Komunis Indonesia (PKI). Eks anggota HTI dilarang untuk berpartisipasi sebagai peserta pemilihan calon presiden, calon anggota legislatif hingga calon kepala daerah. Tertuang dalam Pasal 182 Ayat (2) huruf jj.
Terkait syarat latar belakang pendidikan calon presiden-wakil presiden dan calon anggota Legislatif (DPR, DPD dan DPRD naik. Dalam draft Revisi UU Pemilu, Pasal 182 ayat 2 huruf j, minimal harus lulus pendidikan tinggi.
Selanjutnya, persyaratan calon presiden/wakil presiden wajib menjadi anggota partai politik, sebagaimana termaktub dalam Pasal 182 Ayat (2) huruf dd draft revisi UU Pemilu.
Dalam draf Revisi UU Pemilu turut mengatur pemberian sanksi denda 10 kali lipat bagi partai politik yang terbukti menerima imbalan atau mahar terkait pencalonan presiden di Pemilu.
Termasuk juga dalam draf Revisi UU Pemilu dan Pilkada yang masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR 2021 menyebutkan soal kenaikan ambang batas parlemen atau parliamentary treshold (PT) DPR RI menjadi 5 persen.