News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sengketa Pilkada

Sengketa Pilgub Kalsel: KPU Nilai Eksepsi Permohonan Pemohon Tidak Jelas

Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bakal calon Gubernur Kalimantan Selatan, Denny Indrayana saat penyerahan rekomendasi di Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan, Senin (3/8/2020). Partai Gerindra resmi mengusung Denny Indrayana dan Difriadi Darjat sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan dalam Pilkada Serentak 2020. Tribunnews/Irwan Rismawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) selaku pihak termohon dalam sidang sengketa di Mahkamah Konsitusi (MK) menilai eksepsi paslon nomor urut 2 Denny Indrayana dan Difriadi dalam permohonannya selaku pemohon tidak jelas atau obskur. 

Dalam jawabannya Kuasa hukum KPU Kalsel Ali Nurdin menjelaskan permohonan pemohon tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 8 ayat 3 huruf B angka 4 dan 5 PMK 6/2020.

Ketentuan tersebut, kata Ali, mengatur bahwa alasan-alasan permohonan pada pokoknya memuat penjelasan mengenai kesalahan, hasil penghitungan suara yang ditetapkan termohon, dan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. 

Ali menjelaskan dalam permohonannya pemohon mempersoalkan beberapa pelanggaran dan kecurangan dalam pelaksanaan Pilgub Kalsel tahun 2020.

Akan tetapi, kata Ali, dalam permohonannya pemohon sama sekali tidak memuat penjelasan mengenai kesalahan hasil penghitungan suara yang diterapkan termohon. 

Selain itu, kata dia, pemohon juga tidak memuat hasil perhitungan suara yang benar menurut pemohon. 

Baca juga: Sengketakan Hasil Pilgub Kalsel, Denny Indrayana Beberkan Penyalahgunaan Dana Bansos Kubu Petahana

Dengan demikian, kata Ali, pemohon sama sekali tidak mempersoalkan hasil penghitungan perolehan suara yang ditetapkan oleh termohon. 

"Oleh karena itu permohonan pemohon menjadi tidak jelas atau obskur karena permohonan pemohon tidak sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan dalam PMK 6/2020," kata Ali di ruang sidang panel 2 MK pada Senin (1/2/2021).

Selain itu, kata Ali, dalam petitumnya pemohon menuntut berbagai variasi permintaan untuk diputus Mahkamah dengan menggunakan berbagai permohonan alternatif mulai dari permohonan alternatif 1, alternatif 2, alternatif 3, dan alternatif 4.

Ali menyampaikan banyaknya variasi petitum permohonan tersebut menunjukkan permohonan pemohon tidak jelas. 

Ketidakjelasan tersebut, kata Ali, berimplikasi kepada ketidakjelasan pokok permohonan pemohon. 

"Sebagai contoh dalam petitum alternatif 2 pemohon menuntut agar perolehan suara di Kecamatan Binuang  dan Kecamatan Hatungun dinihilkan. Akan tetapi pada alternatif tiga pemohon menuntut pemungutan suara ulang pada seluruh TPS di Kecamatan Binuang," kata Ali. 

Seharusnya apabila pemohon yakin dengan pelanggaran yang terjadi di beberapa TPS tersebut, kata Ali, maka pemohon bisa menentukan jenis pelanggaran apa yang bisa menimbulkan konsekuensi terhadap Pemungutan Suara Ulang (PSU) atau perolehan suara yang dinihilkan. 

Selain itu kata Ali, sepanjang pengetahuan termohon tidak pernah ada putusan Mahkamah yang menihilkan secara langsung perolehan suara di TPS.

Hal itu karena hakikat dari Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah merupajan perwujudan demokrasi rakyat yang telah menentukan pilihannya di TPS.

"Sehingga menihilkan perolehan suara di TPS merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap demokrasi," kata Ali. 

Dalam petitum permohonannya terkait eksepsi, Ali mengatakan pihaknya meminta MK mengabulkan eksepsi termohon.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," kata Ali. 
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini