Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”.
Di balai pertemuan “Sono Suko” di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu.
Datang beragam wartawan, yaitu tokoh-tokoh pers yang sedang memimpin surat kabar, majalah, wartawan pejuang dan pejuang wartawan, yakni:
1. Sjamsuddin Sutan Makmur (harian Rakjat, Jakarta),
2. B.M. Diah (Merdeka, Jakarta),
3. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta),
4. Ronggodanukusumo (Suara Rakjat, Modjokerto),
5. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya),
6. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang),
7. Sudjono (Berdjuang, Malang), dan
8. Suprijo Djojosupadmo (Kedaulatan Rakjat,Yogyakarta).
Ke-8 orang tersebut dibantu oleh Mr. Sumanang dan Sudarjo Tjokrosisworo.
Tugas mereka adalah merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengkoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional.
Di mana ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah semuanya terbit dengan hanya satu tujuan, yaitu “Menghancurkan sisa-sisa kekuasaan Belanda, mengobarkan nyala revolusi, dengan mengobori semangat perlawanan seluruh rakyat terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional, untuk keabadian kemerdekaan bangsa dan penegakan kedaulatan rakyat.”