News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hari Pers Nasional 2021

Profil Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional Keturunan Ningrat hingga Kakek Buyut Penyanyi Ibu Kota

Penulis: Facundo Chrysnha Pradipha
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tirto Adhi Soerjo. Bapak Pers Nasional Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo juga merupakan kakek buyut penyanyi senior

Riwayat Karier

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, sejak masih sekolah di STOVIA, Tirto Adhi Soerjo sudah aktif menulis untuk beberapa media.

Ketika bekerja di Pawarta Priangan, Tirto Adhi Soerjo sempat menetap di Bandung sebelum akhirnya dia pindah lagi ke Batavia karena surat kabar itu bangkrut.

Tirto Adhi Soerjo kemudian bergabung dengan Pembrita Betawi sebagai redaktur, di sana kariernya melesat cepat.

Pada 1901, Tirto Adhi Soerjo sudah menjadi redaktur kepala, kemudian setahun berselang ia sudah dipercaya menjadi pemimpin redaksi.

Semasa bekerja di sana, Tirto Adhi Soerjo belajar dari Karel Wijbrands, seorang jurnalis senior, pemimpin redaksi Niews van den Dag.

Tirto Adhi Soerjo mendapat bimbingan tentang bagaimana mengelola sebuah penerbitan dan ditunjukkan jalan supaya kelak bisa memiliki terbitan sendiri.

Wijbrands juga menyarankan kepada Tirto Adhi Soerjo agar mempelajari hukum untuk mengetahui batas-batas kekuasaan pemerintah kolonial, beserta hak dan kewajibannya.

Lebih lanjut, Tirto Adhi Soerjo juga diajari tentang harga diri menurut standar Eropa dan teknik menghantam kolonial, bukan pemerintah yang diserang, tetapi aparatnya lantaran hasilnya sama saja.

Tirto Adhi Soerjo juga diminta mendalami tata pemerintahan supaya lebih jeli dalam menilai kekuasaan.

Sementara untuk mengenal bangsa bumiputera yang mayoritas Muslim, Tirto Adhi Soerjo diminta mendalami ajaran Islam berikut hukum-hukumnya.

Berkat saran Wijbrands, Tirto Adhi Soerjo kemudian menerbitkan Soenda Berita, sebuah surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang bumiputra.

Soenda Berita yang diluncurkan 7 Februari 1903 menjadi tonggak sejarah pers nasional.

Surat kabar ini merupakan embrio yang menjdi pretaruhan sekaligus petunjuk pertama ke mana arah ayun kecendekiaan Tirto Adhi Soerjo dalam menyuluh bangsanya secara nasional.

Untuk menarik minat dan menyadarkan pembaca yang memang ditujukan kepada rakyat kebanyakan, Soenda Berita disematkan “Kepoenjaan kami pribumi” oleh Tirto.

Sayangnya, Soenda Berita lantas mengalami krisis finansial.

Antara 1905-1906, Tirto Adhi Soerjo melakukan perjalanan panjang ke luar Jawa untuk menggalang dana, namun justru berdampak fatal terhadap korannya tersebut.

Soenda Berita seperti kehilangan induk dan akhirnya berhenti terbit.

Tirto Adhi Soerjo kemudian meluncurkan Medan Priaji pada 1 Januari 1907 yang terbit mingguan.

Selain sebagai penggagas, Tirto Adhi Soerjo juga bertindak selaku editor sekaligus administrator.

Medan Prijaji juga memperoleh bantuan dana dari para bangsawan dan saudagar lokal.

Pada 10 Desember 1908, NV Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften “Medan Prijaji” resmi berbadan hukum.

Tirto Adhi Soerjo (pahlawancenter.com)

NV (Naamloze Vennootschap atau perseroan terbatas alias PT) ini tidak hanya menerbitkan Medan Prijaji, melainkan juga beberapa media lainnya, termasuk Soeloeh Keadilan.

Dua media itu berhasil menjadikan Tirto Adhi Soerjo sebagai orang Indonesia pertama yang menyuluh rasa kesadaran berbangsa bumiputra melalui media.

Dalam konteks ini, ia memperkenalkan apa yang sekarang disebut sebagai jurnalisme advokasi.

Tak jarang, Tirto membela kaum tertindas lewat surat kabarnya.

Di dunia pergerakan, Tirto Adhi Soerjo juga sangat progresif.

Pada 1905, bersama Wahidin Soediro Hoesodo, tokoh sekolah dokter STOVIA, Tirto Adhi Soerjo menggagas perhimpunan yang melahirkan Sarekat Prijaji pada 1906.

Sayangnya belum genap setahun Sarekat Prijaji sudah tersendat-sendat kerana masalah dana.

Tirto Adhi Soerjo kemudian bergabung dengan Budi Utomo Cabang Bandung.

Namun hal itu tidak bertahan lama, Tirto Adhi Soerjo menilai Budi Utomo hanya akan mengangkat kaum priyayi Jawa.

Tirto Adhi Soerjo juga mengklaim bahwa Sarekat Prijaji lebih maju dalam wawasan nasionalismenya daripada Boedi Oetomo, yang mana tidak memperhitungkan perbedaan bangsa-bangsa di dalamnya.

Tirto Adhi Soerjo kemudian mendeklarasikan organisasi baru bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) di Bogor pada 5 April 1909.

Ia berpikiran, bila ingin memajukan kaum “terprentah” hendaknya jangan bergantung kepada golongan ningrat atau orang-orang pemerintahan, melainkan bergerak bersama orang-orang bebas, yakni pedagang.

Tirto Adhi Soerjo kemudian berkolaborasi dengan Haji Samanhoedi, pemimpin perkumpulan Rekso Roemekso di Solo yang mewadahi para pedagang batik, pegawai rendah Kasunanan, hingga orang-orang petugas keamanan.

Rekso Roemekso yang diujung tanduk karena terancam dibubarkan pemerintah kolonial, akhirnya dibantu oleh Tirto Adhi Soerjo menjadi SDI cabang solo yang memiliki badan hukum.

Bahkan Tirto turut merumuskan dan menandatangani anggaran dasar SDI cabang Solo pada November 1911.

Keaktifannya di bidang jurnalistik masih ditandai dengan kepengurusannya menjadi kolomnis di 14 surat kabar antara lain, Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W., Soara Spoor dan Tram Soearaurna.

Karena tulisan-tulisan di medianya yang begitu lantang melawan pemerintah kolonial Belanda, Tirto Adhi Soerjo kemudian dikriminalisasi, ia dijerat delik pers dan diajukan ke meja hijau.

Medan Prijaji diberedel, di penghujung 1912, Tirto Adhi Soerjo kemudian diasingkan ke Maluku.

Sepulang dari pembuangan dan kembali ke Batavia, pengaruhnya sudah melemah, harta dan asetnya ludes disita negara, teman-temannya pun beranjak menjauh.

Selepas masa pengasingan, jejak pena Tirto Adhi Soerjo seolah dimusnahkan oleh pemerintah Belanda karena pemerintah Belanda yang terus menerus memata-matainya secara intensif.

SDI cabang Bogor yang diprakarsainya pun ikut terbengkalai.

Di sisi lain, SDI cabang Solo yang dikomandoi oleh Haji Samanhoedi jauh lebih berkembang pesat dan lebih dikenal daripada SDI milik Tirto Adhi Soerjo.

Haji Samanhoedi merangkul Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin SDI cabang Surabaya, untuk membesarkan SDI bersama-sama.

Inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal organisasi Sarekat Islam, organisasi massa terbesar di Indonesia.

Tirto sendiri akibat gerak geriknya selalu diawasi dan dibatasi oleh penguasa kolonial, kesehatan fisik dan mentalnya pun menurun drastis.

Bahkan ia nyaris kehilangan ingatan dan akal sehat yang disebabkan penderitaan fisik dan batik yang menyerang dari segala sisi.

Ia akhirnya harus menyerah pada ajal dalam kesepiannya pada 7 Desember 1918 di usia 38 tahun.

55 tahun kemudian, pemerintah menetapkannya sebagai Bapak Pers Nasional.

Akhirnya Tirto Adhi Soerjo memperoleh gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana pada 10 November 2006.

Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Tirto Adhi Soerjo melalui SK Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 November 2006.

Kakek Buyut Penyanyi Senior

Sementara diberitakan Tribun Kaltim, Tirto Adhi Soerjo merupakan kakek buyut penyanyi senior Indonesia.

Tirto memiliki cicit seorang penyanyi perempuan.

Dewi Yull dan Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo.

Mantan Istri Ray Sahetapy ini merupakan cicit dari R.M. Tirto Adhisoerjo.

R.M. Tirto Adhisoerjo merupakan tokoh kebangkitan nasional yang juga dikenal sebagai Bapak Pers Nasional.

(Tribunnews.com/TribunnewsWIKI/Widi Hermawan/TribunKaltim/Rita Noor Shobah)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini