TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Demokrat DPR RI tetap mendorong dilanjutkannya pembahasan revisi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Hal itu dalam rangka menjaga stabilitas pemerintahan di daerah sehingga Pilkada tetap digelar pada tahun 2022 dan 2023 mendatang sebagaimana adanya normalisasi pilkada dalam RUU Pemilu.
"Tentu kami tetap mendorong dijalankannya revisi Undang-Undang Pemilu. Kami mendorong diadakannya Pilkada pada tahun 2022 dan 2023. Ini untuk bisa menjaga kestabilan pemerintahan di daerah," kata Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/2).
Herman menambahkan, perlunya revisi UU Pemilu ini sekaligus menjadi kesempatan untuk melakukan evaluasi Pemilu sebelumnya yang masih banyak meninggalkan catatan serius.
"Revisi Undang-Undang Pemilu demi melengkapi terhadap berbagai hasil evaluasi pada Pemilu 2019, ini yang tentu kami upayakan dan bagi Demokrat aspirasi banyak ke kami," kata Kepala Badan Pembinaan Organisasi, Kaderisasi dan Keanggotaan (BPOKK) Partai Demokrat itu.
Baca juga: Polemik Revisi UU Pemilu Jadi Alasan Prolegnas Prioritas 2021 Belum Ditetapkan
Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menegaskan partainya tak setuju jika Pemilu Serentak 2024 dilaksanakan.
Menurutnya pemaksaan keserentakan pemilu di 2024 dapat membuat demokrasi di Tanah Air berjalan mundur dan bukannya maju ke depan.
"Demokrasi di Indonesia bisa semakin berjalan mundur jika Pilkada 2022-2023 tetap dipaksakan serentak di tahun 2024. Ada 272 penjabat kepala daerah yang bakal ditunjuk mengelola provinsi, kabupaten, dan kotamadya, selama 1-2 tahun.
Kredibilitas dan legitimasi kepala daerah di era demokrasi muncul karena dipilih oleh rakyat. Sedangkan jika ditunjuk langsung oleh presiden melalui Mendagri, kredibilitas dan legitimasinya di mata rakyat yang dipimpinnya tentu sangat lemah.
Baca juga: Sebut AHY Penuh Intrik dan Pencitraan, Pendiri Demokrat Khawatir Pemilu 2024 Jadi Ajang Terakhir
Kalau hanya beberapa bulan saja mungkin masih bisa diterima publik, tapi ini bertahun-tahun," ujar Herzaky.
Herzaky menegaskan demokrasi intinya adalah pemilihan pemimpin oleh rakyat dan bukan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan.
Kalaupun kepala daerah ditunjuk oleh presiden, meskipun hanya penjabat, tapi dalam waktu yang cukup lama dalam hal ini 1-2 tahun, makna demokrasi bakal mengalami reduksi. Herzaky menilai hal ini akan menimbulkan berbagai pertanyaan dari masyarakat.
"Apalagi dengan penunjukan begitu banyak ASN atau korps tertentu sebagai penjabat kepala daerah. Publik akan memaknainya sebagai ajang konsolidasi pihak tertentu menjelang Pilpres 2024.
Baca juga: Peneliti LIPI: Pemilu Diselenggarakan Borongan di 2024 Itu Nggak Realistis
Siapakah yang bakal diuntungkan dengan keberadaan 272 penjabat kepala daerah ini? Apalagi, sebagian besar penunjukan penjabat kepala daerah ini di provinsi dan kota-kabupaten yang sangat strategis," kata dia.