TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto mengemukakan praktik mafia tanah di republik ini sudah menggurita.
Banyak pihak terlibat, mulai dari hulu hingga ke hilir.
“Mafia tanah salah satu penyakit kronis bangsa ini. Negara tidak boleh kalah dengan praktik kotor ini,” kata Abraham saat berdiskusi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil di Kementerian ATR, Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Abraham mengungkapkan pihak-pihak yang terlibat, mulai dari oknum tua adat atau pemilik tanah ulayat.
Mereka kerjasama dengan oknum pengacara untuk menggugat tanah yang punya sertifikat.
“Dari berbagai informasi yang saya peroleh, ada semacam kesepakatan diantara mereka. Bahwa jika menang di pengadilan, oknum pengacara akan mendapatkan bagian dari tanah yang disengketakan,” jelas senator yang duduk di Komite I DPD ini.
Baca juga: Prabowo Soroti Fadli Zon dan Ali Lubis di Pidato HUT Gerindra? Effendi Ghazali: Bisa ke Siapa Saja
Kerjasama mereka, lanjut Abraham, kemudian melibatkan oknum pengurus RT, RW, Kelurahan, Kecamatan hingga Pemerintah Daerah.
Oknum Badan Pertanahan juga diajak kerjasama dalam lingkaran ini.
“Jalur mafia ini kemudian masuk ke pengadilan. Di pengadilan, mereka punya jaringan, mulai pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung. Begitu ada gugatan, mereka yang menang karena sudah ada jaringan di dalam,” ujar Abraham.
Yang mengherankan, ungkap Abraham, praktik mafia juga melibatkan investor kasus. Maksudnya ada oknum pengusaha yang juga terlibat.
Targetnya, setelah gugatan berhasil dimenangkan, tanah tersebut dibeli oleh investor. Bisanya, harga beli tidak terlalu mahal karena mereka merupakan bagian dari sindikat kasus.
“Praktik-praktik seperti ini rasanya terjadi hampir di seluruh penjuru republik ini. Maka kami minta ke pak Menteri ATR untuk memperhatikan betul masalah ini. Sampai kapan mafia tanah ini ada? Siapa yang bertanggung jawab atas hadirnya sertifikat ganda? Mengapa BPN bisa keluarkan sertifikat berkali-kali untuk satu tanah yang sama,” tutur Abraham.
Menanggapi hal tersebut, Menteri ATR Sofyan Djalil mengemukakan langkah yang dilakukan saat ini adalah dengan menerapkan sistem online dalam pembuatan sertifikat.
Baca juga: Gegara Abu Janda, Istana Tak Tinggal Diam, Anak Buah Presiden Jokowi Bereaksi Soal Buzzer
Dalam sistem itu, tanah seseorang akan langsung diketahui siapa pemilik sesungguhnya karena menggunakan foto satelit. Dengan model itu, diharapkan bisa memutus praktik mafia tanah.
“Ini bukan menghapus sertifikat kepemilikan yang sudah ada selama ini. Itu hoaks kalau ada informasi seperti itu. Sistem online itu untuk penertiban penerbitan sertifikat,” ujar sofyan.
Dia menyebut saat ini, pihaknya sedang menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) terkait penerapan sistem elektronik tersebut.
Setelah Permen terbit, sasaran pertama dari sistem itu adalah tanah-tanah milik pemerintah di seluruh tanah air.
Langkah lain adalah merevisi UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Saat ini, Kementerian ATR sedang menyusun revisi UU tersebut.
Didalamnya, akan diatur agar praktik mafia tanah bisa hilang. Pihaknya meminta dukungan DPR dan DPD terkait hal tersebut.
Ketiga, dengan menerapkan UU Cipta Kerja khususnya terkait masalah agraria. UU yang merupakan produk omnibus law itu diharapkan bisa mengikis praktik mafia tanah.
Abraham sendiri mengusulkan agar dalam revisi UU tentang Pokok-Pokok Agraria supaya setiap daerah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Pengaturan masalah agraria harus mengacu pada RTRW satu darah.
Hal itu untuk menghindari spekulasi para mafia tanah atau investor dalam membeli lahan, terutama di daerah-daerah yang menjadi tujuan pariwisata seperti Labuan Bajo.
“Di Labuan Bajo itu, RTRW belum ada. Makanya mafia pesta pora mengkapling-kapling tanah dan menjualnya hingga ribuan kali lipat. Model seperti ini harus bisa masuk di revisi UU Pokok-Pokok Agraria,” tutup Abraham.