Sebaran mangrove di Riau berdasarkan catatan BPDASHL Indragiri-Rokan 2014, seluas 422.607,70 hektar.
Statusnya, dalam kawasan 251.653,63 hektar (lebat 297,38 hektar, sedang 47.121,83 hektar; jarang 126.544,50 hektar dan potensi mangrove 77.689,93 hektar). Di luar kawasan hutan seluas 170.954,07 hektar (kondisi lebat 62,57 hektar, sedang 8.944,67 hektar, jarang 29.948,37 hektar serta potensi mangrove 131.998,46 hektar).
Perbedaan data BPDASHL sangat jauh bila dibanding luasan dalam statistik Dinas Kehutanan Riau setahun sebelumnya, bahkan dibanding data lembaga lain pada 2007.
Mengutip Kompas.com, 24 Juli 2020, luasan itu anjlok dibanding data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, yang mencatat hutan mangrove Riau tersisa 174.000 hektar.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem sangat strategis dan berpotensi untuk mengatasi berbagai macam bencana nasional yang kerap terjadi di Indonesia.
Sri menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi mangrove terbesar di dunia, dimana 20 persen ekosistem mangrove dunia ada di Indonesia karena Indonesia memiliki garis pantai yang mencapai 95.181 km.
Dari 3,31 juta hektar ekosistem mangrove di seluruh Indonesia, sekiranya 2,6 juta hektar ekosistem mangrove dalam kondisi baik. Yang terbesar di Papua dan Papua Barat, Sumatra, dan Kalimantan.
Sri mengatakan asas yang paling penting dalam pengelolaan mangrove adalah urgensi atau peran dari mangrove itu sendiri yang harus dikelola secara lestari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
KLHK bekerja sama dengan badan restorasi mangrove (BRGM) membuat kebijakan untuk melakukan pemulihan dan rehabilitasi serta edukasi masyarakat pentingnya ekosistem mangrove.
“Mangrove luar biasa fungsinya, kalau pengelolaan dilakukan secara serius dan sustainable maka akan memberikan feedback penghasilan yang besar untuk HHTK, jasa lingkungan dan sebagainya,” ujarnya.