Ayah dari lima anak ini juga rajin menyuarakan agar kaum Syiah di Indonesia tidak menutup diri.
"Misalnya di Ijabi (organisasi yang menaungi kaum Syiah di Indonesia), kita minta orang-orang ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu," jelas penulis lebih dari 45 buku ini.
Lantas, bagaimana awalnya penulis buku Islam Aktual (1994) dan Psikologi Komunikasi (1994) ini akhirnya menganut Islam Syiah, walaupun sebelumnya dia mengaku dibesarkan dalam tradisi NU dan sempat mencicipi ajaran Muhammadiyah?
"Dalam tasawuf, bukan hanya seluruh mazhab, tetapi seluruh agama di dunia bertemu," aku Jalaluddin, yang mengaku menganut Syiah melalui 'jalan' tasawuf.
Dan, bagaimana tanggapannya terhadap anggapan masyarakat bahwa sebagian warga Syiah di Indonesia bersikap eksklusif?
Dan, apa tawarannya dalam penyelesaian damai konflik antara penganut Syiah di Sampang, Madura, dengan kelompok penentangnya?
Serta, apa jawaban Jalaluddin Rakhmat soal karakteristik Islam Syiah di Iran dan Indonesia?
Mendalami tasawuf
Dalam berbagai kesempatan, Jalaluddin mengaku dibesarkan dalam keluarga Nahdiyyin (NU), kemudian sempat terlibat dalam aktivitas yang berorientasi pada Muhammadiyah, sebelum mendalami tasawuf dan akhirnya menganut Islam dengan mazhab Syiah.
"Ketika muda, saya memang dibesarkan dari keluarga NU, dan saya pergi ke kota dan bergabung dengan orang Muhammadiyah," ungkapnya, mulai bercerita.
Jalaluddin Rakhmat mengaku awalnya tertarik Syiah setelah Revolusi Islam Iran, 1979.
Keterangan gambar,
Jalaluddin Rakhmat mengaku awalnya tertarik Syiah setelah Revolusi Islam Iran, 1979.
Ketika aktif di Muhammadiyah, Jalaluddin mengikuti gerakan-gerakan "yang saya sebut Islam-siasi, yaitu Islam politik, di mana saya ingin mendirikan syariat Islam di negeri ini".
Namun demikian, Jalaluddin muda mengaku berulangkali kecewa, karena "di berbagai negara Islam, tidak ada yang berhasil mendirikan Syariat Islam".
Di tengah situasi seperti itulah, Jalaluddin mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979, yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang disebut belakangan sebagai Revolusi Islam Iran.