TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Database sejumlah jaksa dan pegawai Kejaksaan Agung (Kejagung) diretas oleh seorang hacker.
Data tersebut bocor dan dan diunggah di salah satu situs forum hacker raidforums.com.
Data-data tersebut berisi nama lengkap, nomor telepon, alamat email dengan domain kejaksaan.go.id, jabatan, pangkat, hingga nomor pegawai.
Baca juga: POPULER INTERNASIONAL Anak Tak Sengaja Tembak Ibu | Pria 52 Tahun yang Berhasil Pikat Gadis 19 Tahun
Pembobolan itu dilakukan oleh peretas yang mengatasnamakan dirinya Gh05t666nero.
Selain mengunggah database Kejaksaan RI, dia juga menyampaikan pernyataan terkait dengan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Pihak Kejaksaan Agung kemudian langsung bergerak memburu pembobol data tersebut. Tak butuh lama, tim Kejaksaan Agung berhasil menciduk seorang remaja di Sumatera Selatan.
Baca juga: Profil AKBP Ahrie Sonta, Kapolres yang Diangkat Jadi Sekpri Kapolri Lewat Mutasi Perdana
Baca juga: Jadwal Acara TV Hari Ini Sabtu 20 Februari 2021: Ikatan Cinta dan The Midnight Man
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengungkapkan, basis data atau database yang diperjualbelikan di situs forum online itu dibobol oleh bocah berusia 16 tahun dari Lahat, Sumatera Selatan.
"Yang bersangkutan masih 16 tahun dan masih sekolah," kata Leonard dalam konferensi pers di Kompleks Kejagung, Jakarta, Jumat (19/2/2021).
Leonard mengatakan, info peretasan data pegawai pertama kali diterima pada Rabu, 17 Februari, sekitar 14.55 WIB.
Data itu kemudian diduga dijual kembali. Leonard menyebut, tim Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi (Pusdaskrimti) Kejagung kemudian bergerak.
Hasilnya, tim mendapat informasi bahwa data pegawai yang diperjualbelikan sebesar 500 megabyte dan jumlah file sebanyak 3.086.224.
"(Data) dijual seharga Rp 400 ribu. Tim juga menganalisis dan mendapatkan sumber data yang dijual merupakan data yang ada pada web Kejaksaan RI," ujar Leonard.
Setelah menganalisis sumber data, tim siber Kejagung kemudian melakukan investigasi dan memancing pelaku dengan cara membeli data tersebut.
"Dari penelusuran yang didapatkan identitas pelaku berinisial MFW. Tim Kejaksaan menemukan username yang bersangkutan, Twitter, maupun Telegram, WhatsApp, dan website," ucap Leonard.
"Hasil penelusuran tim Kejaksaan juga kerja sama dengan BSSN, serta komunitas hacker, didapat sumber data yang berkembang berupa identitas diri MFW lengkap dengan NIK, tempat tanggal lahir. (Pelaku) berusia 16 tahun dan masih bersekolah, alamat yang bersangkutan di Lahat, Sumatera Selatan," kata Leonard.
Usai mendapat identitas tersebut, tim Kejaksaan kemudian mengamankan MFW pada Kamis (18/2) di rumahnya di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
MFW kemudian dibawa ke kantor Kejagung di Jakarta bersama orang tuanya.
Meski demikian, MFW tidak diproses hukum lebih lanjut. Jaksa Agung ST Burhanuddin memberi instruksi agar tak melanjutkan proses hukum terhadap MFW karena pelaku masih di bawah umur dan telah berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi.
"Setelah diteliti, Bapak Jaksa Agung memberikan kebijakan kepada MFW untuk saat ini tidak dilakukan proses hukum. Dengan mempertimbangkan MFW masih muda, berusia 16 tahun, dan masih sekolah di MAN di daerah Palembang. Kedua, MFW telah berjanji dengan membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya, dan orang tua yang bersangkutan juga telah membuat surat pernyatan akan mendidik, mengontrol yang bersangkutan agar tidak melakukan perbuatan peretasan lagi," jelas Leonard.
Ia menyebut, MFW dalam pemeriksaan mengaku belajar meretas secara otodidak dan tidak disuruh siapa pun.
"Anak ini sudah mulai bermain laptop sejak SD, jadi anak ini belajar otodidak. Karena kesibukan orang tua memang dia belajar terus masalah komputer, tidak ada hal-hal yang menyuruh yang bersangkutan, hanya coba-coba masuk. Anak ini masih tetap dalam pengawasan, kami bina, bimbing, sehingga jadi ahli yang baik," kata Leonard.
Sementara itu Kepala Pusdaskrimti Kejagung, Didik Farkhan, memastikan data yang diretas MFW bersifat umum dan tidak terhubung dengan database kepegawaian di Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan Republik Indonesia (SIMKARI).
Ia menyebut data pegawai yang diretas merupakan pengelola website Kejaksaan berjumlah 30 orang.
"Nama pegawai yang sebenarnya nama-nama pegawai admin pengelola website, ada email, jabatan, pangkat, NIK. Jadi tidak benar bahwa itu database karena di sistem yang lain. Maka yang dijual, ditawarkan murah hanya sekitar Rp 400 ribu, bahkan terakhir kami bisa tawar sampai Rp 200 ribu. Data (yang dijual) admin pengelola website sekitar 30 orang," kata Didik.
Didik menambahkan, data yang dijual MFW juga menampilkan sejumlah perkara. Meski demikian, data perkara tersebut merupakan kasus-kasus lama yang sudah menjadi konsumsi publik.
"Yang didapat data perkara lama seperti kasus Chevron yang memang sudah jadi konsumsi publik," ucapnya menegaskan tidak ada kerugian yang dialami Kejagung atas kasus tersebut.
Hadir dalam konferensi pers tersebut orang tua MFW. Saat konferensi pers, orang tua MFW meminta maaf atas perbuatan anaknya. Ia mengakui selama ini lalai mengawasi MFW.
"Saya orang tua MFW, saya mengakui itu perbuatan anak saya yang meretas website Kejagung. Dan setelah saya tanya katanya sekadar iseng, ingin coba otak-atik. Saya memohon maaf atas perbuatan anak saya yang membuat gaduh Kejagung. Saya (mengakui) kurang pengawasan" ucapnya.
Ia pun berterima kasih kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin yang tidak membawa kasus anaknya ke ranah hukum.
"Mohon maaf anak saya masih sekolah dan di bawah umur. Saya sampaikan terima kasih ke Bapak Jaksa Agung yang telah memberikan kebijaksanaan," katanya.(tribun network/igm/dod)