TRIBUNNEWS.COM - Tindakan kekerasan bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
Entah di ruang publik atau ranah privat antar perserorangan.
Biasanya, visum akan menjadi salah satu alat bukti yang digunakan untuk melapor tindakan kekerasan ke aparat penegak hukum.
Hingga kini, masyarakat masih ada yang belum paham apa visum itu sendiri.
Baca juga: Edhy Prabowo: Jangankan Dihukum Mati, Lebih dari itupun Saya Siap
Baca juga: Apa Itu Energi Alternatif? Berikut Pengertian, Macam-macam, Contoh hingga Manfaatnya
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Bali, Ni Luh Putu Nilawati membeberkan penjelasan dari bukti visum.
Menurut Nila, ada perbedaan antara visum dengan surat keterangan sakit.
Hal itu disampaikan Nila saat mengisi program Kacamata Hukum bertajuk Memperkarakan Pelaku KDRT, Senin (22/2/2021).
Dengan penjelasannya, ia mengambil contoh korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Baca juga: Pimpinan DPR Dorong Pemerintah Segera Revisi UU ITE
Baca juga: Kominfo Ikut Kaji Pedoman Pelaksanaan UU ITE: Bukan Norma Hukum Baru, Jangan Keliru Ditafsirkan
"Ibu-ibu yang menjadi korban KDRT, ia lebih dulu diantar keluarganya ke rumah sakit (RS)."
"Setelah mendapat pemeriksaan, mereka (korban,red) ambil sendiri hasil pemeriksaanya, tetapi tidak dilanjutkan dengan melapor polisi."
"Kemudian dengan diambil surat keterangan itu sendiri tidak bisa disebut dengan visum," terang Nila, Senin (22/2/2021).
Saat korban KDRT dilarikan ke rumah sakit, hendaknya langsung melapor ke polisi.
Sehingga, hasil pemeriksaan berbentuk surat keterangan sakit ini bisa menjadi bukti visum.
Baca juga: 2 Eks Menteri Korupsi Dinilai Layak Dituntut Pidana Mati, Ini Tanggapan Pengamat hingga Komnas HAM
Baca juga: Pengamat Pertanyakan Wacana Pemerintah Merevisi UU ITE: Pasal-Pasalnya atau Perilaku Polisi ?
"Seharusnya bagi korban KDRT, surat keterangan sakit jangan diambil dulu. Tetapi kita langsung melapor."