News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Saor Siagian Minta Irjen Napoleon Sebut Pihak yang Mengkriminalisasinya

Penulis: Reza Deni
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/2/2021). Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) tiga tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider enam bulan kurungan. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reza Deni

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Praktisi hukum Saor Siagian menyoroti soal pernyataan terdakwa kasus suap Djoko Tjandra Irjen Napoleon Bonaparte dalam pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Di sana, Napoleon menyebut dirinya adalah korban kriminalisasi Polri.

"Ini tuduhan serius. Artinya bahwa Napoleon tentu menurut penyidik dan JPU cukup bukti melakukan atau menerima suap, dia harus membongkar siapa yang dituduh," kata Saor saat dihubungi Tribunnews, Rabu (24/2/2021).

Apalagi, ditambahkan Saor, pangkat Napoleon di Polri bukan pangkat yang sembarangan, yakni Inspektur Jenderal.

"Yang paling sederhana ya Napoleon sebut saja nama-nama tersebut, dia kan diproses di pengadilan, tentu dia punya perlindungan," katanya.

Baca juga: Kapolri Minta 2 Personel Polri yang Diduga Terlibat Jual Beli Senjata Api Dengan KKB Ditindak Tegas

"Tapi kan barangkali beliau ini mencoba untuk menyelamatkan diri dengan membuang badan, tetapi pada saat yang sama menuduh lembaga tempat dia bekerja," tambah Saor.

Lebih lanjut, Saor menilai KPK seharusnya juga ikut turun tangan menangani kasus Djoko Tjandra ini.

"Karena ini melibatkan aparat. Jangan dia tanggung. Kemungkinan ada bintang tiga atau bintang empat yang mengkriminalkan dia, karena dia di lembaga kepolisian yang kulturnya taat kepada atasan," pungkas Saor.

Sebelumnya, Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri sekaligus terdakwa kasus suap Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte menyebut ia adalah korban kriminalisasi institusi Polri. Napoleon juga menyebut dirinya adalah korban malpraktik dalam penegakan hukum.

Pernyataan ini ia sampaikan saat membaca nota pembelaan atau pleidoi atas tuntutan pidana penjara 3 tahun, karena disebut terbukti menerima uang suap dari buronan kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

"Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," ucap Napoleon dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2/2021).

Baca juga: Mantan Istrinya Terjerat Narkoba, Andika Mahesa Jaga Anaknya Dari Media Sosial dan Pemberitaan

Ia menjelaskan bentuk kriminalisasi dan malpraktik yang menimpa dirinya berangkat dari penegakan hukum yang terkesan tak berdasar. Penegakan hukum dalam kasus Djoko Tjandra, disebut hanya demi mempertahankan citra institusi Polri semata.

Kasus Djoko Tjandra diusut lantaran terjadi pemberitaan secara masif di media massa dan berskala nasional pada pertengahan bulan Juli 2020, atas tudingan pemerintah Indonesia khususnya institusi penegakan hukum sudah kecolongan.

"Sehingga memicu malpraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran marwah institusi," ucapnya.

"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan bulan Juni 2020, yang menuding, bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," sambung dia.

Masifnya pemberitaan tersebut diperparah dengan munculnya foto surat keterangan bebas Covid-19 atas nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Kolopaking yang diteken pihak Pusdokes Polri.

Sehingga, membuat kepercayaan atas institusi Polri kian menurun. Sebab kata dia, ada anggapan bahwa Polri sebagai biang keladi di balik rentetan kasus Djoko Tjandra.

"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri, bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," pungkasnya.

Napoleon Didakwa 3 Tahun Penjara

Irjen Napoleon Bonaparte dituntut 3 tahun pidana dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Napoleon dinilai terbukti menerima suap penghapusan red notice Interpol Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

"Menuntut dengan pidana penjara selama 3 tahun dengan perintah agar terdakwa ditahan di rumah tahanan," ucap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/2/2021).

Baca juga: Namanya Disebut Napoleon, Yasonna: Kalau APH Minta Cekal Kita Cekal, Kalau Minta Hapus Kita Hapus

Tuntutan jaksa ini merujuk pada sejumlah pertimbangan. Napoleon dinilai tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme.

Selain itu Napoleon juga dinilai telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum di Indonesia.

Sementara hal yang meringankan tuntutan, jaksa menilai Napoleon bersikap kooperatif selama proses persidangan bergulir. Kemudian, Napoleon juga baru sekali melakukan tindak pidana. 

"Sementara hal yang meringankan, terdakwa kooperatif selama persidangan. Kemudian terdakwa juga baru sekali melakukan tindak pidana," ucap jaksa membaca surat tuntutan.

Atas dua pertimbangan tersebut, Napoleon dianggap sudah melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Diketahui Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadiv Hubinter) Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte sebelumnya didakwa menerima suap sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra.

Duit tersebut diterima lewat perantara Tommy Sumardi. Uang tersebut diberikan oleh Djoko Tjandra agar namanya dihapus dari daftar DPO atau red notice. Napoleon didakwa menerima duit itu bersama-sama Brigjen Pol Prasetijo Utomo. Adapun, Prasetijo menerima 150 ribu dolar AS.

Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), disebutkan Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan Kabag Jatinter Set NCB Interpol Divhubinter Polri Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat kepada pihak Imigrasi pada tanggal 29 April 2020 yang ditandatangani oleh Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7, dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.

Selain itu, Napoleon juga memerintahkan Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat pada tanggal 4 Mei 2020 perihal pembaharuan data Interpol Notices yang ditandatangani Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi yang isinya menyampaikan penghapusan Interpol Red Notice.

Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 2020, Irjen Pol Napoleon Bonaparte memerintahkan Kombes Pol Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat soal penghapusan red notice yang ditujukan kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan ditandatangnai Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut menginformasikan bahwa red notice Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 setelah 5 tahun.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini