TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP, Husni Fahmi mengklaim tak tahu-menahu mengenai anggaran maupun aliran dana kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Pernyataan ini disampaikan Army Mulyanto, kuasa hukum Husni Fahmi, usai mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (25/2/2021).
"Sebenarnya kalau bicara fakta pada intinya beliau sebagai Ketua Tim Teknis sama sekali tidak tahu anggaran itu berapa, berapa yang kemudian digunakan untuk proyek ini berapa dan bancakan-bancakan lainnya sama sekali beliau tidak tahu," kata Army.
Kata Army, tanggung jawab kliennya sebagai Ketua Tim Teknis hanya sebatas mengawal pekerjaan proyek e-KTP.
Untuk itu, Army mengaku heran kliennya ditetapkan sebagai tersangka.
"Sama sekali tidak ada aliran dana, atau beliau ini menikmati dari hasil e-KTP itu sendiri di luar dari semestinya. Jadi pure tidak ada sama sekali itu. Sehingga yang bersangkutan menjadi tersangka juga agak membingungkan buat kami," katanya.
Baca juga: KPK Cecar Sekda DIY soal Pemecahan Anggaran Pembangunan Stadion Mandala Krida
Dalam kesempatan ini, Husni Fahmi menegaskan tidak pernah menerima aliran dana atau janji dari pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) maupun pihak lainnya terkait proyek e-KTP.
Husni menjelaskan, keterlibatannya dalam proyek e-KTP dan menjadi Ketua Tim Teknis merupakan penugasan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Saat itu, kata Husni, terdapat permintaan kerja sama dari Kemendagri kepada BPPT untuk mendapat dukungan teknologi.
"Jadi dibuatlah MoU antara Kemdagri dan BPPT. Kemudian saya bertugas di BPPT, jadi SK penugasan dan seterusnya dari pimpinan BPPT. Saya mendapatkan tugas untuk mendampingi atas tugas MoU tersebut kepada Kemdagri," katanya.
Dalam proses penyusunan spesifikasi e-KTP, Husni mengatakan, BPPT melakukan berbagai kajian melalui literatur maupun berdiskusi dengan pelaku industri yang terkait.
Tak terkecuali dengan perusahaan-perusahaan yang mengikuti lelang proyek, seperti Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya yang konsorsiumnya memenangkan lelang.
"PNRI itu melalui Pak Isnu Edhi Wijaya datang ke BPPT. Dan itu kamu membuka diri kepada seluruh industri baik dalam dan luar negeri untuk berkonsultasi.
Dan kami pun perlu peran serta dari industri dalam dan luar untuk merancang teknologi e-KTP ini. Kami terbuka saja kepada siapapun dan itu hal bisa saja dalam kajian teknologi. Mereka berkunjung ke BPPT dan mengundang kami dan kemudian anggota tim kami yang hadir," katanya.
Husni bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2019 telah diumumkan sebagai tersangka baru dalam pengembangan kasus korupsi e-KTP.
Tiga tersangka lainnya, yakni mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, Anggota DPR RI 2014-2019 Miriam S Hariyani, dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos.
Empat orang itu disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tersangka Husni diduga telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor.
Padahal Husni dalam hal ini adalah Ketua Tim Teknis dan juga panitia lelang.
Pada Mei-Juni 2010, Husni ikut dalam pertemuan di Hotel Sultan bersama mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto dan pengusaha Andi Agustinus.
Dalam pertemuan tersebut diduga terjadi pembahasan tentang proyek e-KTP yang anggaran dan tempatnya akan disediakan oleh Andi Agustinus.
Dalam pertemuan tersebut, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya, dan seterusnya dengan tujuan "mark up".
Setelah itu, Husni sering melapor kepada Sugiharto.
Husni diberi tugas berhubungan dengan vendor dalam hal teknis proyek e-KTP dan pernah diminta oleh Irman mengawal konsorsium, yakni PNRI, Astragraphia, dan Murakabi Sejahtera. Husni ditugaskan untuk membenahi administrasi supaya dipastikan lulus.
Husni diduga tetap meluluskan tiga konsorsium, meskipun ketiganya tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan Hardware Security Modul (HSM) dan Key Management System (KMS).
Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, Husni diduga diperkaya 20 ribu dolar AS dan Rp10 juta.