Laporan wartawan Tribunnews.com, Malvyandie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur HICON Law & Policy Strategis Hifdzil Alim mengingatkan urgensi nilai ambang batas maksimal selisih suara sebagai syarat mengajukan gugatan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) kepala daerah di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Hifdzil, banyak pihak yang mengabaikan acuan pasal 158 ayat 1 dan 2 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada saat mengajukan gugatan perselisisihan hasil pemilu ke MK.
Bahkan tak jarang yang menganggap bahwa pasal tersebut sudah dihapuskan.
"Artinya, Pasal 158 tetap urgent didalilkan", ujar Hifdzil, Rabu (24/2/2021).
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Harus Berani Keluar dari Kungkungan Pasal 158 UU Pilkada
Pasal 158 ayat (1) UU 10/2016 tentang Pilkada, untuk Pemilihan Gubernur menyebutkan provinsi dengan jumlah penduduk sampai 2 juta jiwa perbedaan suara hasil pemilu 2 persen dari suara sah.
Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta selisih suara 1,5 persen dari suara sah, provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-12 juta selisih suara 1 persen dari suara sah, dan penduduk dengan jumlah diatas 12 juta selisih suara dari total suara sah sebesar 0,5 persen.
Sedangkan dalam ayat 2, Kabupaten/kota dengan penduduk hingga 250 ribu jiwa, syarat selisih suara 2 persen dari jumlah suara sah, kabupaten/kota dengan jumlah 250 ribu sampai 500 ribu selisih suara 1,5 persen dari total suara sah, Kabupaten/kota dengan jumlah 50 ribu-1 juta penduduk selisih 1 persen dari total suara sah, dan penduduk diatas satu juta harus memiliki selisih suara 0,5 persen dari total suara sah.
Baca juga: Pimpin Fit and Proper Test Kapolri, Herman Herry Tegaskan Komisi III Jalankan Tugas Konstitusional
Kini, langkah MK menerima sejumlah kasus sengketa PHP kepala daerah kendati tidak memenuhi beberapa persyaratan menimbulkan tanda tanya besar.