TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Harjono mengungkapkan wafatnya sang kolega, Artidjo Alkostar karena mengalami serangan jantung, Minggu (28/2/2021).
"Betul, meninggal dunia karena sakit jantung," kata Harjono saat dikonfirmasi, Minggu (28/2/2021).
Harjono menyampaikan, datangnya kabar duka tersebut cukup mengejutkan, lantaran koleganya itu masih sempat bekerja pada Kamis (25/2/2021) lalu.
Ketika itu, dia masih tampak sehat dan beraktivitas seperti biasa. "Kamis (Artidjo Alkostar) masih di kantor," tuturnya.
Baca juga: PROFIL Artidjo Alkostar Mantan Hakim Agung yang Tegas Pada Koruptor, Meninggal di Usia 72 Tahun
Sementara, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar memastikan Artidjo meninggal dunia bukan karena terpapar Covid-19.
"Enggak lah (bukan Covid-19). Karena kalau Covid tentu diedar di pimpinan. Setiap yang terkena Covid-19," papar Lili.
Sebelumnya Wartakotalive memberitakan, anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Alkostar meninggal dunia, Minggu (28/2/2021) siang.
Informasi itu disampaikan oleh Menkpolhukam Mahfud MD lewat akun Twitter@mohmahfudmd.
"Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yg penuh integritras."
"Mantan hakim agung Artidjo Alkostar yg kini menjabat sbg salah seorang anggota Dewan Pengawas KPK telah wafat siang ini (Minggu, 28/2/2021)."
"Inna lillah wainna ilaihi rajiāun. Allahumma ighfir lahu," tulis Mahfud MD.
Pernah Nyaris Dibunuh Ninja dan Disantet
Mantan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar mengaku menerima sederet ancaman saat bertugas sebagai hakim.
Bahkan, ancaman itu diterimanya saat masih menjadi pengacara. Hal itu terjadi, kata Artidjo, saat membela kasus Santa Cruz di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia mengaku hampir dibunuh oleh seseorang yang berpakaian seperti ninja.
"Pernah mau dibunuh saya jam 12 malam. Tapi, Allah melindungi saya yang didatangi oleh ninja itu. Ninja tahu lah di Timtim itu siapa ninja," ujar Artidjo di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
Pria berumur 70 tahun ini bercerita bahwa ancaman dan serangan ninja itu salah sasaran, dan justru menyasar ke asisten Artidjo.
Ancaman pembunuhan juga diterimanya saat membela kasus penembakan misterius di Yogyakarta. Saat itu dirinya sebagai pengacara di LBH Yogyakarta
"Saya pernah diancam, 'Artidjo kamu jangan sok pahlawan. Penembak misterius datang ke tempat tidur kamu'," ungkap Artidjo menirukan peristiwa saat itu.
Bahkan, hakim yang ditakuti para koruptor ini mengaku pernah menjadi sasaran santet saat menjadi hakim agung.
"Kalau orang akan menyantet saya itu salah alamat juga. Katanya pernah mau disantet. Dipake foto, saya katakan, wah, ini mesti kelas TK ini," tutur Artidjo.
Meski demikian, semua ancaman yang bertubi-tubi menghampirinya tidak membuatnya gentar sedikit pun. Justru, dia malah mengabaikan ancaman tersebut.
Kata Artidjo, darah Madura yang mengalir dalam tubuhnya menjadi alasan dirinya tak takut. Sejak kecil, dia sudah kenyang dengan silat, berkelahi, bahkan Artidjo sering bertarung dengan celurit saat kecil.
"Jadi, tidak memungkinkan. Darah Madura saya tidak memungkinkan untuk menjadi takut sama orang," cetusnya.
Mantan Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) Indonesia Artidjo Alkostar mengatakan, seorang hakim tidak boleh mendapatkan hadiah.
Bahkan, kata Artidjo, untuk bermimpi mendapatkan hadiah pun, hakim tidak dibolehkan.
"Kalau hakim itu tidak boleh bermimpi mendapat hadiah, itu ndak boleh, ndak boleh hakim," kata Artidjo di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
Hal itu disampaikan Artidjo saat ditanya hadiah yang pernah didapatkannya selama 18 tahun menjabat sebagai hakim MA.
Pria yang tepat pensiun pada Selasa (22/5/2018) ini juga bercerita bagaimana dirinya penah mendapatkan hadiah dari almamater kampusnya, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Bahkan, dia juga pernah mendapat sebuah penghargaan dari salah satu Kampus di Jakarta. Semua itu jelas ditolaknya.
"Saya itu kan pernah mau diberi award dari UII, dari almamater saya. Saya tolak. Ada juga dari Jakarta, tidak perlu saya sebutkan, memberikan award juga. Saya tolak juga," ujar Artidjo.
Hakim yang pernah memutus perkara para koruptor ini membeberkan alasan kenapa menolak semua penghargaan itu.
Artidjo berpendapat, penghargaan seperti itu berpotensi mempengaruhi independensi seorang hakim. Julukan atau penobatan verbal pun dia tolak demi independensi.
"Hakim itu harus bebas dari harapan-harapan yang berpotensi untuk mempengaruhi independensi. Penghargaan ini, sebutan ini. Jadi, harus bersih, harus independen," tegas Artidjo.
Artidjo pensiun pada Selasa (22/5/2018), karena genap berusia 70 tahun. Namun, secara administrasi Artidjo pensiun per 1 Juni 2018. Artidjo lahir pada 22 Mei 1948.
Tangani 19.708 Kasus
Artidjo Alkostar pensiun sebagai Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Selasa (22/5/2018) lalu.
Selama mengabdi 18 tahun di MA sejak 2000, Artidjo mengaku telah memutus 19.708 perkara.
"Saya mengabdi memberikan sedikit kontribusi kepada MA ini 18 tahun, dan sudah menangani perkara sebanyak 19.708 berkas," kata Artidjo Alkostar saat sesi wawancara dengan awak media di media center Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018).
Pria berumur 70 tahun itu menangani sejumlah perkara besar, mulai dari perkara korupsi mantan Presiden Soeharto, kasus Bank Bali/BLBI dengan terdakwa Djoko S Tjandra, kasus bom Bali, perkara Jaksa Urip Tri Gunawan, perkara Anggodo Widjoyo, perkara Gayus Tambunan, hingga kasus pembunuhan dengan terpidana mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Artidjo juga dikenal 'galak' dalam memutus perkara korupsi yang melibatkan banyak orang, mulai dari politikus, anggota DPR, hingga pejabat pemerintahan.
Palu Artidjo juga telah memutus sejumlah perkara seperti kasus mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq, mantan anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Anggelina Sondakh, mantan Ketua MK Akil Mochtar, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan politikus Partai Demokrat Sutan Bathoegana, hingga mantan Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Juga, menolak Peninjauan Kembali (PK) kasus penistaan agama yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.
Meski sepak terjangnya banyak membuat para koruptor geram, Artidjo menyadari masih banyak kekurangan dalam menyelesaikan perkara. Untuk itu, dia berharap penggantinya kelak bisa berbuat lebih baik dan membawa MA ke arah yang baik dalam menyelesaikan perkara.
"saya harapkan MA ini menjadi rumah bagi pencari keadilan dan menjadi kebanggan bagi Bangsa Indonesia ini, sebagai lembaga negara dalam penegakan hukum," harap Artidjo Alkostar.
Artidjo pensiun pada Selasa (22/5/2018) lalu karena memasuki usia 70 tahun. Namun, secara administrasi Artidjo pensiun per 1 Juni 2018.
Artidjo lahir pada 22 Mei 1948. Artidjo memulai kuliah di Fakultas Hukum UII pada September 1967. Selepas kuliah, Artidjo aktif di LBH Yogyakarta, lalu mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates. Praktik hukumnya itu difokuskan pada pembelaan hak asasi manusia dan masyarakat terpinggirkan.
Pada awal 2000, Artidjo bergabung dan menjabat sebagai hakim agung kamar pidana di Mahkamah Agung. (Tribunnews/Igman Ibrahim/Warta Kota)