Argumentasi yang menyebut undang-undang Pilkada yang terkini, yakni UU 10/2016 belum dilaksanakan, dimana salah satu pasalnya menyebut bahwa Pilkada Serentak akan dilaksanakan pada 2024.
Argumentasi tersebut dikatakannya sempat disebutkan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Argumentasi itu menurutnya juga tidak kalah problematik, sebab menurutnya dalam pandangan yang lebih progresif undang-undang Pilkada bukan sesuatu yang statis.
Undang-undang Pilkada justru menurutnya perlu responsive dan bahkan antisipatif terhadap kondisi.
“Jadi kita tidak perlu meletakan ini sebagai sesuatu yang tidak kontekstual dengan perkembangan politik dan perkembangan lainnya. Saya justru mengkritisi bahwa tampaknya para legislator kita tidak cukup visioner. Merancang undang-undang tidak mempertimbangkan kepentingan yang lebih luas dan juga jangkauan yang lebih kedepan,” katanya.
Arif khawatir bahwa keengganan untuk merevisi UU Pemilu lebih terkait pada peluang kemenangan dalam berbagai konteks electoral baik di daerah maupun di nasional yang berdampak pada kekuatan politik, terutama pada anggota koalisi.
“Sayang bahwa isu revisi ini dalam minggu-minggu terakhir terdegradasi hanya sekadar persoalan Pilkada ini mau diselenggarakan 2022-2023 atau di 2024. Padahal isu revisi ini jauh lebih kompleks,” ujarnya.