TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya meminta Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dihukum pidana 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Menurut Peniliti ICW Kurnia Ramadhana, tuntutan tersebut masih belum maksimal.
Tuntutan itu juga dinilai mengesampingkan peran utama Djoko Tjandra sebagai pihak pemberi suap terhadap pejabat negara untuk pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).
"Masih belum maksimal dan cenderung menafikan peran sentral terdakwa dalam kejahatan yang ia lakukan," jelas Kurnia kepada wartawan, Jumat (5/3/2021).
Berkaca dari uraian JPU, Kurnia mengatakan Djoko Tjandra seharusnya dituntut maksimal 5 tahun bui dan denda Rp250 juta. JPU harusnya bisa menjadikan kejahatan Djoko Tjandra yang menyuap institusi penegak hukum dan perwira tinggi polri sebagai latar belakang pemberat tuntutan.
Terlebih, Djoko Tjandra juga sudah menjadi terpidana. Sehingga sepatutnya JPU menghukum dengan tuntutan maksimal.
"Tindakan Joko Tjandra yang telah mencoreng institusi penegak hukum dengan menyuap oknum Jaksa dan perwira tinggi Polri. Namun sepertinya hal itu luput dijadikan dasar pemberat tuntutan," tegas dia.
Sebagai informasi, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara dan dendan Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Djoko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Adapun hal - hal yang dianggap memberatkan tuntutan, yakni Djoko Tjandra dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi.
Selain membacakan tuntutan, JPU juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021.
Baca juga: Djoko Tjandra Dituntut 4 Tahun, ICW: Belum Maksimal
Alasannya, karena Djoko Tjandra dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
Menurut jaksa, dalam persidangan terungkap fakta bahwa benar Djoko Tjandra memberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra ke Pinangki melalui perantara Andi Irfan Jaya –yang merupakan rekan Pinangki– dengan maksud sebagai biaya pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.
Penerbitan fatwa MA itu bertujuan supaya Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 yang menghukumnya 2 tahun penjara.
Selain itu, terungkap pula bahwa terjadi penyerahan uang kepada dua jenderal polisi guna pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar AS dan 370 ribu dolar AS, serta eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dolar AS.
Jaksa juga menyebut Djoko Tjandra terbukti terlibat pemufakatan jahat bersama Pinangki dan Andi Irfan Jaya dalam pengurusan fatwa MA. Mereka menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
"Berdasarkan fakta persidangan bahwa terdakwa merupakan pelaku utama tindak pidana korupsi sebagai pemberi suap," tegas jaksa.