TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dan penghapusan red notice, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra singgung keterlibatan eks Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.
Najib Razak kata Djoko Tjandra, berperan merekomendasikan Tommy Sumardi dalam perkara ini.
"Untuk bisa masuk ke Indonesia guna kepentingan pendaftaran permohonan PK tersebut, saya minta tolong kepada Tommy Sumardi yang saya kenal dan berdasarkan rekomendasi dari besan saudara Tommy Sumardi, sahabat saya, mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, untuk mengecek status DPO saya," ucap Joko Tjandra di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/3/2021).
Baca juga: Djoko Tjandra Klaim Jadi Korban Vonis Opini Publik
Setelah mendapat rekomendasi Najib Razak, Djoko Tjandra kemudian menjalin komunikasi dengan Tommy Sumardi hingga terjadi kesepakatan untuk mencari tahu status DPO dirinya.
"Saudara Tommy Sumardi menyanggupi, tetapi ada biayanya. Awalnya Tommy Sumardi meminta fee sebesar Rp15 miliar. Saya tawar menjadi Rp10 miliar dan Saudara Tommy Sumardi menyetujuinya," kata dia.
Namun dalam nota pembelaannya, Djoko Tjandra sama sekali tak tahu menahu peruntukan dan aliran uang tersebut.
Ia mengaku hanya sebatas membayar biaya Rp10 miliar yang diminta Tommy Sumardi sebagaimana kesepakatan awal.
Tapi tiba - tiba namanya terseret dalam kasus dugaan suap perwira tinggi kepolisian yang melibatkan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Kakorwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo.
"Saya tidak tahu untuk apa saja Tommy Sumardi menggunakan fee yang saya bayarkan tersebut. Itu jadi urusan dan tanggung jawab Tommy Sumardi. Kewajiban saya hanya membayar biaya sebesar Rp10 miliar yang kami sepakatin," pungkas Djoko Tjandra.
Vonis 4 Tahun Penjara
Sebelumnya, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara dan dendan Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Djoko Tjandra terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Selain itu, JPU juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021.
Alasannya, karena Djoko Tjandra dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
Menurut jaksa, dalam persidangan terungkap fakta bahwa benar Djoko Tjandra memberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi 2 pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra ke Pinangki melalui perantara Andi Irfan Jaya –yang merupakan rekan Pinangki– dengan maksud sebagai biaya pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.
Penerbitan fatwa MA itu bertujuan supaya Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi atas kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 yang menghukumnya 2 tahun penjara.
Selain itu, terungkap pula bahwa terjadi penyerahan uang kepada dua jenderal polisi guna pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan kepada mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri, Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar AS dan 370 ribu dolar AS, serta eks Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo sebesar 100 ribu dolar AS.
Jaksa juga menyebut Djoko Tjandra terbukti terlibat pemufakatan jahat bersama Pinangki dan Andi Irfan Jaya dalam pengurusan fatwa MA. Mereka menjanjikan uang 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan MA.
Giring Opini
Djoko Tjandra juga menyebut dirinya jadi korban vonis opini perorangan atau opini publik, bahkan sebelum perkara dugaan suap penghapusan red notice ini bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Jauh sebelum perkara ini disidangkan, saya telah dijatuhi vonis oleh opini orang perorangan yang diklaim sebagai opini publik," kata Djoko Tjandra.
Ia mengaku banyak pihak yang tidak pernah ikut proses persidangan, tapi malah menghakimi dengan meminta majelis hakim menghukum berat bahkan seumur hidup.
Djoko Tjandra kemudian menanggapi bahwa opini tersebut hanya didasari pada nafsu belaka yang senang melihat orang lain menderita, dengan mengabaikan fakta - fakta yang terungkap dalam persidangan.
"Ada yang tidak pernah mengikuti persidangan ini dari hari ke hari, tetapi lewat apa yang disebut sebagai opini publik, meminta Majelis Hakim untuk menghukum saya seberat-seberatnya, bahkan menghukum saya seumur hidup," ucap dia.
"Apa dasarnya? Tidak lebih daripada prasangka dan nafsu untuk menghukum orang lain serta kesenangan melihat orang lain menderita," sambungnya.
Sambil mengutip kata - kata seorang wartawan dan penulis Amerika Serikat di abad 20, Henry Grantland Rice, Djoko Tjandra mengatakan mereka yang membuat keputusan sendiri adalah orang bijak, sedangkan orang bodo hanya mengikuti oponi yang berkembang di publik.
"Orang bijaksana membuat keputusan - keputusan sendiri, sedangkan orang bodoh mengikuti opini publik," kata Djoko Tjandra.
Baca juga: Kuasa Hukum Yakin Pledoi Djoko Tjandra Dikabulkan Majelis Hakim PN Jakarta Timur
Atas dasar itu dia yakin majelis hakim adalah kumpulan orang bijak yang akan memeriksa dan mengadili serta membuat keputusannya sendiri berdasarkan fakta, tanpa bisa dipengaruhi oleh opini publik yang sifatnya subjektif atau prasangka.
"Saya percaya dan meyakini bahwa Majelis Hakim Yang Mulia adalah orang-orang bijaksana yang akan memeriksa, mengadili, dan membuat keputusan sendiri berdasarkan kebenaran fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan ini, dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh opini-opini publik," ucapnya.