TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bareskrim Polri mengungkapkan alasan belum menahan eks Direktur Utama (Dirut) PT BS berinisial SA setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyatakan alasan tidak menahan tersangka lantaran pasal yang disangkakan kepada tersangka hukumannya di bawah 5 tahun.
"Kalau dilihat dari kasus yang disangkakan kepada yang bersangkutan. Itu menyangkut pasal 54 UU tentang otoritas jasa keuangan. Pasal 54 itu hukuman pidananya 2 tahun. Maka, atas dasar pertimbangan tersebut Polri tidak melakukan penahanan," kata Brigjen Rusdi kepada wartawan, Selasa (16/3/2021).
Baca juga: Bareskrim Bakal Periksa Mantan Dirut PT BS Sebagai Tersangka pada Hari Ini
Ia menyampaikan pihaknya masih dalam tahapan proses penyidikan.
Nantinya, penyidik Polri akan mendalami lagi keterangan tersangka hingga mengumpulkan alat bukti.
Setelah itu, penyidik akan melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah tersangka akan ditahan atau tidak.
Penahanan merupakan kewenangan sepenuhnya penyidik.
"Sekarang tunggu saja, karena sekarang masih tahap penyidikan atau pemeriksaan terhadap tersangka. Nanti apabila proses selanjutnya selesai akan ada gelar perkara untuk menetapkan tersangka itu bisa ditahan atau tidak ditahan," tukas dia.
Baca juga: Hari Ini Sidang Maraton Rizieq Shihab, Kuasa Hukum Ancam Walk Out Jika Rizieq Tak Dihadirkan
Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dit Tipideksus) Bareskrim Polri sebelumnya menetapkan mantan Direktur Utama (Dirut) PT BS berinisial SA sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan.
"Atas perbuatan tersangka yang diduga dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," kata Dir Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (10/3/2021).
Penetapan SA sebagai tersangka, menurut Helmy, dilakukan setelah melalui proses gelar perkara.
Penyidik telah memperoleh fakta hasil penyidikan dan alat bukti, sehingga menetapkan SA sebagai tersangka dalam perkara itu.
Baca juga: Amankan Sidang Rizieq Shihab di PN Jaktim, Polisi Siagakan Ratusan Personel Gabungan
Helmy menjelaskan, diketahui sejak bulan Mei 2018, PT Bank Bukopin, Tbk. telah ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan intensif oleh OJK karena permasalahan tekanan likuiditas.
Kondisi tersebut semakin memburuk sejak bulan Januari hingga Juli 2020.
Dalam rangka upaya penyelamatan Bank Bukopin, OJK mengeluarkan kebijakan di antaranya memberikan Perintah tertulis kepada Dirut PT BS atas nama SA melalui surat OJK nomor : SR-28/D.03/2020 tanggal 9 Juli 2020.
Surat itu berisikan tentang perintah tertulis pemberian kuasa khusus kepada Tim Technical Assistance (Tim TA) dari PT BRI untuk dapat menghadiri dan menggunakan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Bank Bukopin Tbk dengan batas waktu pemberian kuasa dan penyampaian laporan pemberian surat kuasa kepada OJK paling lambat 31 Juli 2020.
"Akan tetapi PT BS tidak melaksanakan perintah tertulis tersebut," ujar Helmy.
Baca juga: Etos Institute Segera Rilis Survei Terbaru, Pendapat Masyarakat Terhadap Kapolri dan Kabareskrim
Dalam penyelidikan, ditemukan fakta bahwa setelah surat dari OJK diterbitkan pada 9 Juli 2020, SA mengundurkan diri sebagai Dirut BS pada 23 Juli 2020.
"Pada tanggal 24 Juli 2020, SA masih aktif dalam kegiatan bersama para pemegang saham bank Bukopin maupun pertemuan dengan OJK pada tanggal 24 Juli 2020, namun tidak menginformasikan soal pengunduran dirinya sebagai Dirut PT BS," jelas Helmy.
"SA pada tanggal 27 Juli 2020 juga mengirimkan foto Surat Kuasa melalui aplikasi whatsapp kepada Dirut Bank Bukopin dengan mencantumkan jabatannya sebagai Dirut PT BS," lanjut Helmy Santika.
Atas perbuatannya, SA disangka melanggar Pasal 54 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan denda paling sedikit Rp5 miliar atau pidana penjara paling lama enam tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar.