TRIBUNNEWS.COM - Seorang pria asal Tegal berinisial AM harus berurusan dengan kepolisian setelah mengomentari Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka.
Ia memenuhi panggilannya di Markas Polresta Solo, Senin lalu (15/3/2021).
Diduga, AM dinilai menyebarkan komentar berbau hoax soal Gibran lewat ejekan.
Kasus ini lantas mendapat perhatian dari Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice (ICJR), Erasmus Napitupulu.
Erasmus menilai, penangkapan terhadap AM bukanlah merupakan wujud dari keadilan restoratif (Restorative Justice).
Baca juga: PN Jaksel Kembali Gelar Sidang Lanjutan Perkara Ujaran Kebencian atas Terdakwa Gus Nur
Baca juga: Jubir Prabowo Soroti Sikap Politisi yang Jadikan Momen Banjir sebagai Pemuas Kebencian Politik
Menurutnya, tindakan Polresta Solo malah menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
"Tindakan polisi bukan merupakan restorative justice dan hal ini sangat berbahaya sebab justru menimbulkan iklim ketakutan oada masyarakat dan tidak memulihkan," kata Erasmus, dikutip dari Kompas.com, Selasa (16/3/2021).
Ia mengatakan, restorative justice bertujuan untuk memulihkan kondisi antara pelaku kejahatan, korban dan masyarakat.
Erasmus mempertanyakan, siapa korban dari kasus ini.
Sebab, ia melihat Gibran juga tak melakukan pelaporan atas kasus dugaan penghinaan itu.
Baca juga: Fakta-fakta Video Viral Bocah Dirantai di Purbalingga, Polisi Beri Penjelasan & Bupati Turun Tangan
Baca juga: Ejek Gibran Rakabuming Raka, Pria Asal Tegal Dipanggil ke Mapolresta Solo
"Restorative justice ditujukan untuk memulihkan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat."
"Dalam kasus ini, apabila kasusnya adalah penghinaan, maka siapa korbannya? Sebab Gibran tidak melakukan pelaporan sama sekali," jelas Erasmus.
Lebih lanjut, Erasmus menjelaskan, UU ITE juga tak mengatur soal perlindungan bagi pejabat negara.
Direktur Eksekutif ICJR ini menuturkan, jika pola tindakan kepolisian seperti itu akan terus terjadi.