TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seruan untuk mencintai produk dalam negeri harus dimaknai sebagai gerakan kultural, yang merupakan bagian dari upaya menanamkan nasionalisme terhadap setiap elemen bangsa.
"Semangat kemandirian bangsa sebenarnya sudah dicanangkan pendiri bangsa sejak bangsa ini berdiri. Ajakan cinta produk dalam negeri merupakan bagian dari semangat kemandirian itu," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema "Manifesto Cinta Produksi Dalam Negeri dalam Strategi Pemulihan Ekonomi" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/3/2021).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI, Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu dihadiri oleh Dr. Rachmat Gobel (Wakil Ketua DPR RI Periode 2019 - 2024), Dr (HC), Dr. (HC), Drs. Enggartiasto Lukita (Menteri Perdagangan RI Periode 2016 - 2019), Prof. Ujang Sumarwan (Guru Besar Institut Pertanian Bogor Ilmu Perilaku Konsumen) dan Rambu Chiko (Penenun dari Sumba Timur) sebagai narasumber.
Selain itu juga menghadirkan Maggie Calista (Jurnalis & News Anchor, CNN Indonesia) dan Muhammad Erfan Apriyanto (Founder Indonesia 2030/UN Development Specialist) sebagai penanggap.
Namun, menurut Lestari, bingkai kemandirian saat ini harus dijalankan dengan perspektif yang lebih dinamis.
Baca juga: Lestari Moerdijat: Manfaatkan Sebaik-baiknya Setiap Peluang di Masa Pandemi untuk Kepentingan Bangsa
Karena, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dan relasinya dalam sistem perdagangan global, tidak mungkin mengisolasi diri dengan proteksionisme yang berpotensi menumpulkan daya kompetitif bangsa.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat, sebaiknya kita sebagai bangsa untuk mencintai produk dalam negeri harus mengedepankan titik berat pada peningkatan daya saing berbagai produk yang dihasilkan anak bangsa.
Daya saing tersebut, jelas Rerie, bisa diwujudkan dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi dengan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya energi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi gerakan mencintai produk dalam negeri, menurut Rerie, harus diwujudkan lewat kemandirian berbasis inovasi, kedaulatan ekonomi serta ketahanan ekonomi.
Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel berpendapat untuk mewujudkan cinta produk dalam negeri tidak bisa hanya mengandalkan dukungan dari masyarakat saja, harus ada komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkan cinta produk Indonesia lewat keberpihakannya.
Sebagai contoh, Rachmat mengungkapkan, di sektor elektronik ada produk dalam negeri yang 50%-65% komponennya impor, celakanya komponen impornya 70%-80%-nya ilegal.
Dengan kondisi seperti itu, Rachmat mengakui, banyak kendala yang harus segera diatasi untuk mewujudkan produk dalam negeri yang berdaya saing.
Menteri Perdagangan RI Periode 2016 - 2019, Enggartiasto Lukita berpendapat, pasar itu tidak punya ideologi, sehingga harus ada insentif yang tepat pada produk dalam negeri agar memiliki kemampuan untuk bersaing di pasar.
Komponen pembentuk harga, tegas Enggartiasto, harus ditelusuri satu-satu untuk menciptakan efesiensi, sehingga produk dalam negeri bisa bersaing dari sisi kualitas dan harga.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor Ilmu Perilaku Konsumen, Ujang Sumarwan tidak yakin semua upaya untuk menciptakan cinta produk Indonesia dibebankan kepada pemerintah semata.
Menurut Ujang, cinta produk Indonesia harus lewat interest yang sama antara konsumen atau masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkannya.
Penenun dari Sumba Timur, Rambu Chiko berpendapat, produk dalam negeri harus punya ciri khas, unik, mutu dan kualitasnya harus dijaga, sehingga punya nilai tambah.
Sejumlah inovasi, menurut Rambu, perlu dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi.
Jurnalis senior, Saur Hutabarat diakhir diskusi menegaskan kecintaan terhadap produk dalam negeri tidak bisa dibentuk dalam waktu sekejap. Civic culture yang membentuk nasionalisme, menurut Saur, tidak bisa dibangun secara cepat dan jangka pendek.
Nasionalisme bangsa Korea saja, ujarnya, diwujudkan dalam lebih setengah abad.
Sehingga, Saur menilai bangsa Indonesia perlu waktu dan kesabaran yang panjang untuk mewujudkan nasionalisme, sehingga bisa merealisasikan kecintaannya terhadap produk dalam negeri.