News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dugaan Kasus Korupsi Pengadaan Tanah, MAKI Serahkan Data Lahan di Munjul ke KPK

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tampak lahan di RT 05/RW 05 Kelurahan Pondok Ranggon yang dikabarkan jadi lokasi pembangunan DP Rp 0, Jakarta Timur, Selasa (9/3/2021).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menyerahkan data lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yang mana diketahui saat ini KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta Tahun 2019.

"Hari ini MAKI telah menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan Lahan di Munjul, Kelurahan Pondok Rangon, kecamatan Cipayung Jakarta Timur," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman lewat keterangannya, Jumat (19/3/2021).

"Yang saat ini KPK sedang melakukan penyidikan dugaan korupsi pembelian lahan tersebut oleh BUMD DKI Jakarta Perusahaan Daerah Sarana Jaya," tambahnya.

Baca juga: Kasus Korupsi Pengadaan Tanah di Munjul, KPK Bakal Panggil Anies Baswedan?

Boyamin menjelaskan, lahan tersebut terdiri dari Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 97, 98, dan 99 yang diterbitkan oleh Kantor BPN Jakarta Timur pada 31 Juli 2001 dengan masa berlaku hingga 31 Juli 2021 atas nama pemilik Yayasan Kongregasi Suster-Suster Carolus Borromeus dengan luas keseluruhan sekitar 4 hektare.

"Berdasar data tersebut terdapat hal-hal yang memperkuat telah terjadinya dugaan korupsi pembayaran pembelian lahan oleh PD Sarana Jaya kepada sebuah perusahaan yang mengaku memiliki lahan tersebut," katanya.

Pertama, kata Boyamin, lahan tersebut dimiliki oleh sebuah yayasan sehingga tidak bisa dijual kepada sebuah perusahaan bisnis swasta. 

Ia melanjutkan, lahan yayasan hanya boleh dialihkan kepada yayasan lain untuk digunakan tujuan fungsi sosial, hal ini berdasar ketentuan Pasal 37 Ayat (1) huruf B Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Yayasan. 

"Semestinya sejak awal PD Sarana Jaya mengetahui tidak bisa membeli lahan tersebut karena lahan dimiliki oleh sebuah Yayasan yang kemudian dijual kepada perusahaan swasta yang mana dilarang oleh UU Yayasan, sehingga dengan melakukan pembayaran kepada sebuah perusahaan swasta sekitar Rp 200 miliar adalah sebuah bentuk pembayaran yang tidak diperolehnya sebuah lahan yang clear and clean serta berpotensi kerugian total lost (uang hilang semua tanpa mendapat lahan)," terangnya.

Kedua, imbuh Boyamin, lahan tersebut HGB-nya akan habis pada 2021 dan selama ini tidak pernah dilakukan pembangunan apapun sesuai izin HGB, sehingga berpotensi tidak akan diperpanjang HGB-nya. 

"Sehingga semestinya PD Sarana Jaya menunggu perpanjangan HGB untuk melakukan pembayaran sehingga dengan pembayaran sebelum HGB diperpanjang adalah bentuk pembayaran yang sia-sia dan berpotensi tidak akan memperoleh lahan tersebut," kata Boyamin.

Ketiga, kata Boyamin, sebelum terbit HGB tahun 2001, lahan tersebut adalah berstatus Hak Pakai yang dimaknai lahan milik pemerintah.

"Sehingga ketika lahan tersebut terlantar karena tidak didirikan bangunan maka berpotensi HGB dicabut atau setidaknya perpanjangannya akan ditolak sehingga pembayaran oleh PD Sarana Jaya adalah sesuatu hal ceroboh dan uang terbuang percuma," ujarnya.

Keempat, Boyamin berkata bahwa dengan rencana penjualan lahan oleh pemegang HGB kepada perusahaan swasta yang kemudian dijual kepada PD Sarana Jaya, patut diduga telah melanggar UU Yayasan.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini