Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan generasi milenial menjadi target utama perekrutan kelompok teroris.
Terlebih, saat ini kelompok-kelompok teroris menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan paham sesatnya.
"Memang milenial ini menjadi target utama dari mereka," ujar Deputi VII BIN Wawan Purwanto dalam diskusi Polemik 'Bersatu Melawan Teror', Sabtu (3/4/2021).
Kata Wawan, paham radikalisme menyusup kepada generasi milenial, terutama yang tidak kritis atau menelan setiap informasi yang diterimanya, termasuk ajaran sesat.
Baca juga: Mantan Napi Teroris Ungkap Kesamaan Pandangan Pelaku Teror di Makassar dan Mabes Polri
Untuk itu, BIN mendorong agar generasi milenial, maupun pihak lain yang berada di dekat kaum milenial baik orangtua, guru dan lainnya selalu melakukan memeriksa, memeriksa ulang dan memeriksa silang setiap informasi yang diperoleh.
"Serta juga tanyakan pada ahlinya dengan maksud supaya kajian ini komprehensif. Apakah asbabun nuzul, sebab turunnya mahzab itu cocok. Sebab mereka sering menyitir ayat-ayat di medan perang bukan ke medan damai. Tekstual tanpa melihat sebabnya turunnya ayat ini sungguh berbahaya," katanya.
Sebagaimana diketahui, serangan teror bom bunuh diri di Katedral Makassar pada Minggu (28/3/2021) melibatkan pasangan suami istri berusia muda.
Baca juga: Komisi III DPR Minta Kapolri, BIN, Hingga BNPT Usut Tuntas Kasus Teror di Makassar dan Mabes Polri
Sementara, serangan ke Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021) dilakukan seorang wanita yang juga masih berusia 25 tahun.
Dengan kondisi tersebut, Wawan mengatakan, orangtua berperan penting untuk mengawasi anak-anak mereka.
Hal ini lantaran orangtua mengetahui watak anak.
"Yang biasanya riang jadi pemurung, yang biasanya nggak pergi kemana-mana tahu-tahu pulang minta uang. Dia hanya berbicara dengan networking yang ada di media sosial. Karena dia didrive di situ untuk melakukan apapun yang mereka bisa lakukan terkait dengan entah itu perakitan bom dan juga diisi dari pemikiran-pemikiran yang keliru dan juga pembenaran dari gerakannya itu," katanya.
Baca juga: Kementerian PPPA: Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme dan Terorisme
BIN, tutur Wawan, juga terus melakukan patroli siber.
Hal ini sebagai bagian mencegah penyebarluasan paham-paham radikal melalui dunia maya.
"Banyak juga yang kita ingatkan," tuturnya.
Wawan menambahkan alasan generasi milenial menjadi target utama perekrutan oleh kelompok teroris.
Wawan mengatakan, kelompok milenial tidak banyak tanggungan, lebih berani dan emosional.
"Dan lebih berpikir pragmatis apalagi ada iming-iming masuk surga dan lain-lain," kata Wawan.
Perempuan Rentan Terjerumus Aksi Radikalisme
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengungkapkan maraknya pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme, membuktikan perempuan lebih rentan terjerumus dalam jerat persoalan tersebut.
Baca juga: Penanganan Aksi Terorisme Tak Hanya dengan Penangkapan Jaringan Tapi juga Melawan Pemikiran Ekstrem
Untuk itu, diperlukan upaya pencegahan dari seluruh elemen masyarakat, khususnya melalui penguatan ketahanan keluarga sebagai unit terkecil dan pertahanan pertama dalam masyarakat.
“Adanya fenomena peningkatan pelibatan perempuan dalam aksi radikalisme dan terorisme menunjukan perempuan lebih rentan terlibat dalam persoalan ini. Hal ini disebabkan karena faktor sosial, ekonomi, perbedaan pola pikir, serta adanya doktrin yang terus mendorong bahkan menginspirasi para perempuan, hingga akhirnya mereka nekat melakukan aksi terorisme dan radikalisme,” kata Ratna dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (3/4/2021).
Ratna menambahkan kerentanan dan ketidaktahuan perempuan juga turut menjadi sasaran masuknya pemahaman dan ideologi menyimpang.
Baca juga: Penjual Senjata Kepada Penyerang Mabes Polri Ditangkap Densus 88 Antiteror di Banda Aceh
Sehingga, mereka kerap dimanfaatkan dalam aksi radikalisme dan terorisme.
“Selain itu, keterbatasan akses informasi yang dimiliki dan keterbatasan untuk menyampaikan pandangan dan sikap, juga turut menjadi faktor pemicu. Disinilah pentingnya ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik untuk membangun karakter anak dengan menginternalisasi nilai-nilai sesuai norma hukum, adat, agama, dan budaya,” jelas Ratna.
Terlebih menurut Ratna, pesatnya perkembangan teknologi informasi membuat paham radikal lebih cepat menyebar di masyarakat.
Baca juga: Sebut Aksi Teror di Mabes Polri dan Bom Makassar Punya Kesamaan, Mantan Napiter: Soal Pengkafiran
“Apalagi dengan kemajuan teknologi dan informasi saat ini, serta bervariasinya modus-modus kejahatan baru,a' katanya.
Untuk itu, ketahanan keluarga dan strategi komunikasi yang baik, sangat dibutuhkan sebagai pondasi dan filter dalam pengasuhan anak di keluarga.
"Karena itu orangtua harus bisa menjalin hubungan baik dengan anak, mengawasi dan mengontrol anak, memberikan edukasi, menerapkan pola komunikasi yang terbuka dan mudah dipahami, menerapkan pola pengasuhan dengan kesiapsiagaan, dan mendeteksi risiko karena banyak perempuan yang tidak tahu apa saja risiko yang akan ia hadapi, mengingat minimnya pengetahuan,” kata Ratna.
Untuk menangani persoalan terorisme dan radikalisme di Indonesia, pemerintah tentunya tidak bisa bergerak sendiri.
“Pentingnya sinergi semua pihak baik civil society (masyarakat sipil) untuk bergerak secara masif dan berkelanjutan, khususnya dengan melakukan sistem deteksi dini (early warning system) karena persoalan terorisme dan radikalisme ini merupakan tantangan besar kita dalam menghasilkan SDM berkualitas," katanya.
"Mari kita bersinergi lindungi perempuan dari bahaya terorisme dan radikalisme, demi mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada 2045. Jika perempuan berdaya, anak terlindungi, saya yakin Indonesia pun akan maju,” lanjut Ratna.
Senada dengan Ratna, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Akhmad Nurwakhid menekankan pentingnya memperkuat civil society dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, khususnya tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam memerangi adanya pemahaman dan ideologi menyimpang yang mengarah pada aksi terorisme dan radikalisme.
“Setiap orang berpotensi memiliki pemahaman radikal, disinilah pentingnya ajaran dalam bentuk narasi dari para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang mengandung budi pekerti, pembangunan karakter, serta nilai-nilai positif, supaya masyarakat kebal terhadap ancaman pemahaman radikal,” ujar Akhmad.
Akhmad menambahkan adanya anggapan perempuan memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap taat pada suami, cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya.
Menindaklanjuti persoalan ini, BNPT telah berupaya menanggulanginya, diantaranya dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang sudah dibentuk di 32 Provinsi untuk melakukan sosialisasi kepada generasi muda, termasuk perempuan, dan anak.
“Aksi radikalisme dan terorisme bukanlah bentuk monopoli satu agama, melainkan ada di setiap agama, kelompok, bahkan berpotensi ada di setiap individu manusia. Segala bentuk terorisme yang mengatasnamakan agama, sejatinya adalah manipulator agama dan tidak terkait dengan agama apapun. Ini menjadi musuh kita bersama, kita harus bersatu untuk menanggulanginya,” kata Akhmad.