TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anak muda diharapkan berhati-hati mencari guru yang akan dijadikan rujukan dalam memahami agama.
Salah memilih akan membuat mereka terjerumus dalam terorisme.
Demikian disampaikan mantan terpidana terorisme, Sofyan Tsuri, daam diskusi online bertema “Anak Muda dan Terorisme” yang digelar Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
“Perlu menjadi perhatian, bahwa hati-hati dalam mencari guru (agama). Boleh Anda jadi orang saleh, orang baik, tapi jangan pernah salah cari guru. Karena nanti takutnya, Anda berkarir di sana, kemudian puncaknya Anda menjadi teroris,” ucap Sofyan, Senin (5/4/2021).
Mantan orang penting dalam kelompok teroris Al-Qaeda Asia Tenggara itu,. juga menyebut hampir semua aksi terorisme yang terjadi di dunia, termasuk di Indonesia, berakar dari paham Wahabi dan Salafi.
Baca juga: Pengamat Intelijen: Penjara Bikin Teroris Malah Tambah Hebat
Selain mencari guru agama yang tepat, kembali pada ajaran Islam seperti yang diamalkan Rasulullah SAW (Ahlussunnah wal Jamaah) juga merupakan cara melawan paham sesat radikalisme dan terorisme.
“Kalau mau sembuh dari penyakit radikalisme, intoleransi dan terorisme, maka kembali kepada pemahaman Ahlussunnah (wal Jamaah),” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, psikolog klinis forensik, A. Kasandra Putranto, mengatakan keterlibatan perempuan dan anak muda dalam aksi terorisme yang terjadi di Indonesia belakangan ini, karena dipengaruhi pergeseran geopolitik dunia.
Hal itu dia sampaikan dalam
“Persoalannya adalah karena memang, aksi terorisme di Indonesia itu juga mengikuti pergeseran geopolitik dunia,” kata dia.
Dia mencontohkan, dahulu kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) tidak memperbolehkan perempuan dan anak muda “berjihad”.
Namun sekarang, nilai itu bergeser seiring dominasi kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) menggantikan kelompok JI.
“Kalau dulu, Jamaah Islamiyah (JI) tidak mengenal jihad yang dilakukan perempuan dan anak (muda) karena memang tidak diizinkan, tetapi ketika ada kelompok baru dan punya nilai yang berbeda, mulailah muncul itu (teroris perempuan dan anak muda),” tambah dia.
Lebih jauh, dari penelitian yang dia lakukan, Kasandra menyebut peran keluarga sangat vital dalam membentuk karakter seseorang untuk menjadi teroris.
“Yang paling banyak itu faktor keluarga, jadi apakah di dalam keluarga itu memang sudah diajarkan radikal sejak dini, atau justru karena tidak diajarkan prinsip-prinsip toleransi sama sekali,” imbuhnya.
Di samping faktor keluarga, ada juga faktor pergaulan seperti di lingkungan sekolah dan masyarakat, yang juga ikut mempengaruhi seseorang terlibat dalam terorisme.
Secara khusus, Kasandra menaruh perhatian pada teroris dari kalangan anak muda.
Menurutnya, sejumlah anak muda tergelincir dan menjadi pelaku aksi teror karena terpapar informasi menyesatkan dari media sosial.
“Paham-paham terorisme itu juga disebarkan, disampaikan dan paling fatal adalah melalui media sosial,” tegas dia.
Diskusi dilanjutkan dengan paparan dari pengamat intelijen, Ridlwan Habib. Dia mencatat, dari tahun 2000 sampai 2021, telah terjadi 553 aksi teror.
Sedangkan serangan di Mabes Polri pada 31 Maret lalu yang dilakukan oleh teroris perempuan menjadi serangan bersenjata yang ke-197 di markas-markas polisi.
Lalu, menurut Ridlwan, saat ini ada 875 narapidana yang sedang menjalani hukuman di penjara, ditambah 220’an teroris masih dalam proses hukum.
Selama 3 bulan terakhir (Januari – Maret 2021) aparat telah menangkap 180 orang dalam kasus terorisme.
Berangkat dari data di atas, Ridlwan memberikan kritikannya terhadap cara-cara yang diambil pemerintah dalam menangani terorisme.
Pertama, Ridlwan menilai, program deradikalisasi di dalam penjara masih formalistik.
Juga pengawasan terhadap mantan napi yang lemah. Ini terbukti dari sejumlah mantan napi terorisme yang kembali berulah.
Kedua, imbuhnya, adalah soal kekalahan pertarungan narasi Islam moderat di media sosial dari narasi-narasi kelompok radikal.
“Yang kedua, dari asymmetric information warfare (pertarungan informasi yang tidak seimbang) di media sosial. Kita hari ini, narasi Islam moderat tertinggal dari narasi-narasi kelompok takfiri, jihadi dan salafi,” ujar Direktur The Indonesia Intelligence Institute itu.
Terakhir, dia memberi catatan, koordinasi lintas instansi yang harus diperkuat. Misalnya, pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme, yang sayangnya, Peraturan Presiden (Perpres) soal itu belum juga diteken oleh Presiden Jokowi.
Hal lain yang juga diungkap dalam diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini itu, adalah tentang nilai-nilai maskulinitas yang mendorong lahirnya teroris.
Kelompok teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pun, kerap memelintir ayat dalam Al-Quran untuk membangkitkan semangat juang dan membuat banyak laki-laki menjadi martir terorisme.
“Ternyata, gelora Akbar (teroris asal Aceh) tadi bergabung ke terorisme itu lebih karena heroisme, ‘wah bawa AK-47 kelihatan keren.’ Narasi-narasi ISIS ketika itu memang selalu bikin galau lelaki yang ingin mencari jati diri,” papar visiting fellow RSIS, NTU Singapura sekaligus Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail.
Menutup diskusi, A. Kasandra Putranto, menyebut PSI bisa ikut mengisi ruang-ruang perjuangan melawan radikalisme dan terorisme di kalangan anak muda.
“PSI juga bisa ikut terlibat dalam berbagai kebijakan yang terkait dengan pembentukan keluarga, perlindungan perempuan dan mendorong perbaikan kualitas di internet. Meningkatkan ekonomi, menambah wawasan dan tentu saja kesetaraan, itu sangat penting,” pungkasnya.
Di pengujung Maret lalu, dua aksi terorisme melanda Indonesia. Pengeboman di depan Gereja Katedral Makassar dilakukan pasangan suami-istri berinisial L dan YSF dan merupakan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berbaiat kepada kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Sementara pelaku penyerangan Mabes Polri adalah seorang perempuan dengan inisial ZA. Kepala Kepolisian RI, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mengatakan bahwa ZA berideologi radikal ISIS.
Ketiga teroris sama-sama berusia sekitar 25 tahun.
Peristiwa beruntun itu memunculkan kekhawatiran dari banyak pihak jika kelompok teroris semakin berani menggunakan anak muda dan perempuan sebagai alat teror mereka.