Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI menyampaikan pihaknya akan segera mengambil keputusan mengenai penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi di BPJS Ketenagakerjaan.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung Febrie Adriansyah mengatakan nantinya penyidik akan menentukan ada atau tidaknya unsur pidana di balik kasus tersebut.
Menurut Febrie, penyidik masih memeriksa beberapa portofolio transaksi pengelolaan keuangan dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan.
"Ada memastikan, tinggal beberapa transaksi lagi, tinggal memastikan ada beberapa transaksi lagi yang diminta diperdalam," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (15/4/2021) malam.
Baca juga: Adik Benny Tjokrosaputro dan Istri Ilham Siregar Diperiksa Kejagung Terkait Korupsi Asabri
Adapun transaksi yang diperiksa mengenai apakah kerugian negara yang dialami BPJS Ketenagakerjaan merupakan dugaan korupsi atau justru unrealized loss.
"Kalau (petunjuk) itu selesai maka akan ada keputusan," kata dia.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung RI sebelumnya menduga adanya tindak pidana korupsi yang terjadi dalam tubuh PT BPJS Ketenagakerjaan berkaitan dengan pengelolaan keuangan dan dana investasi.
Hasilnya, kasus tersebut ditingkatkan menjadi penyidikan pada Januari 2021. Kasus tersebut ditangani oleh penyidik pada Jampidsus berdasarkan surat perintah penyidikan Nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021.
Baca juga: Kejagung Pasang Plang Penyitaan Ratusan Bidang Tanah Benny Tjokrosaputro dan Lukman Purnomosidi
Penyidik juga memeriksa sejumlah saksi-saksi untuk mendalami kasus tersebut. Selain itu, sejumlah dokumen sudah sempat disita dalam penggeledahan kantor pusat BPJS Ketenagakerjaan di wilayah Jakarta, Senin (18/1/2021) lalu.
Sempat Singgung Adanya Kerugian Negara Rp 20 Triliun.
Kejaksaan Agung RI memperkirakan kerugian negara dugaan kasus tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 20 triliun. Angka itu dibukukan hanya dalam 3 tahun saja.
Demikian disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Febrie Adriansyah. Hal itu sekaligus menjawab kemungkinan kasus BPJS Ketenagakerjaan hanya sebatas risiko bisnis.
"Kalau kerugian bisnis, apakah analisanya ketika di dalam investasi itu selemah itu sampai 3 tahun bisa merugi sampai Rp 20 triliun sekian. Sekalipun ini masih menurut dari orang keuangan masih potensi," kata Febrie di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Kamis (11/2/2021).
Baca juga: Kejagung Kembali Sita Ratusan Bidang Tanah Milik Benny Tjokrosaputro Terkait Kasus Korupsi Asabri
Febrie juga menjawab kemungkinan kasus BPJS Ketenagakerjaan sebagai unrealized loss atau risiko bisnis. Unrealized loss sendiri biasa digunakan dalam perdagangan di pasar saham.
Artinya, kondisi penurunan nilai aset investasi saham atau reksadana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal yang tidak bersifat statis.
Febrie menyampaikan kasus yang dialami BPJS Ketenagakerjaan hampir tidak mungkin dalam kondisi unrealized loss. Sebab, kerugian yang diterima perseroan mencapai Rp 20 triliun dalam 3 tahun saja.
"Nah sekarang saya tanya kembali dimana ada perusahaan-perusahaan lain yang bisa unrealized loss (Rp 20 triliun) dalam 3 tahun. Ada nggak seperti itu? saya ingin denger dulu," ungkap dia.
Kendati demikian, pihaknya masih menunggu laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kerugian negara dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan.
"BPK yang menentukan kerugian. Ini nanti kita pastikan kerugiannya ini. Karena perbuatan seseorang ini masuk ke kualifikasi pidana atau seperti yang dibilang tadi kerugian bisnis," ujar dia.