TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aktivis sekaligus terdakwa kasus penyebaran berita hoaks, Jumhur Hidayat menyebutkan keterangan Ahli Linguistik Forensik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Andita Dutha Bachari tidak kompeten.
"Kalau dari sisi pernyatan bohong, dia tak kompeten. Karena itu ada 35 orang oengusaha menyatakan investor menyatakan resah, bohongnya di mana?" kata Jumhur di PN Jaksel, Senin (19/4/2021).
Menurut Jumhur, ahli yang dihadirkan JPU lucu karena dia menyatakan sebuah pernyataan itu bisa berkonotasi negatif dan positif.
"Dia mengatakan sebuah pendapat bisa bilang salah bisa bilang benar, ya sudah cukup sampai situ harusnya, tak usah menyimpulkan ada potensi ini, ada potensi ini, tak perlu," tuturnya.
Dia menilai, ahli seharusnya tak memberikan kesimpulan kalau pernyataannya itu bakal menimbulkan potensi tertentu ataukah tidak.
Baca juga: Ahli Bahasa: Pernyataan Jumhur soal Primitif Investor dan Pengusaha Rakus Bisa Timbulkan Keonaran
Hal yang sama, dikatakan Jumhur, dengan berita dari media massa tentang 35 investor asing yang dia kutip di Twitter miliknya.
"Dia bilang media massa itu bohong, kan gila kan. Kan cuma memberitakan ada 35 investor menyatakan UU Omnibus Law resah," tambahnya
"Tidak ada hubungannya dnegan pernyataan Kepala BKPM bahwa dia tidak pernah investasi itu tidak ada hubungannya. Jadi kelau i menyatakan ini bohong ya, itu dia gagal sebagai ahli bahasa karena bohong itu harus ada referensinya," pungkasnya.
Sebelumnya, Ahli Linguistik Forensik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Andita Dutha Bachari dihadirkan di ruang persidangan.
Dalam keterangan di persidangan, Andita mengatakan bahwa pernyataan Jumhur tentang primitif investor dan pengusaha rakus memiliki konotasi negatif.
"Karena primitif bermakna terbelakang dan siapa pun tak mau disandingkan kata rakus karena itu bermakna tak ada kenyangnya. Lalu di situ, ada frasa dapat ya, ada potensi keonaran, karena unsur dapat itu," ujar Andita di persidangan, Senin (19/4/2021).
Ditambahkan Andita, dirinya sebagai ahli membedahnya menggunakan teori pragmatik.
"(Teori pragmatik) melihat bahasa sebagai tindak tutur, bukan sebagai struktur belaka. Dalam pramatik, harus dilihat keterkaitan antara si penutur maupun si penerima," katanya.
Dalam setiap tuturan bahasa, kata dia, haruslah diperhatikan tujuannya dan dilakukan secara kehati-hatian.