Di sinilah sejarah perjuangan R.A. Kartini bermula.
Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda.
Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa Abendanon.
Dari Abendanon, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa.
Kemudian, timbul keinginan Kartini untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang amat rendah.
R.A. Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalan kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda.
Kartini kecil sering juga mengirimkan beberapa tulisan yang kemudian ia kirimkan kepada salah satu majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie.
Tak jarang dalam suratnya, Kartini menyebut judul sebuah karangan atau hanya mengutip kalimat-kalimat yang pernah ia baca.
Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahun dan kebudayaan.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Pada tanggal 12 November 1903, orang tua Kartini memintanya untuk menikah dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang telah memiliki tiga istri.
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat sangat mengerti citi-cita Kartini.
Ia memperbolehkan Kartini unuk membangun sebuah sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang.