TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyambut Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April, legislator Golkar Christina Aryani angkat bicara mengenai ancaman serius yang menyasar kaum perempuan di Tanah Air seiring berkembangnya era digital.
Christina yang merupakan anggota Komisi I DPR RI menilai kekerasan berbasis gender online yang jumlahnya semakin meningkat kini menjadi momok menakutkan bagi banyak perempuan di Indonesia.
Dia menilai hal itu perlu mendapat perhatian serius, bukan saja dari masyarakat tetapi juga pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya.
"Dari banyak catatan yang kami kumpulkan, baik dari Komnas Perempuan, Safenet, LBH Apik dan lembaga-lembaga lainnya, kekerasan berbasis gender online ini sangat marak terjadi dan tengah menjadi ancaman serius perempuan Indonesia. Bagi saya ini perlu disikapi untuk mencegah bertambah banyaknya korban yang jumlahnya cenderung meningkat hari ke hari. Sangat mengkhawatirkan,” ujar Christina, kepada wartawan, Rabu (21/4/2021).
Christina menjelaskan kasus KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) meningkat sebanyak 940 kasus pada tahun 2020, atau terdapat peningkatan 3 kali lipat dari 2019.
Belum lagi kasus penyebaran konten intim non-konsensual yang jumlahnya juga meningkat sebesar 375 % (169 kasus) pada tahun 2020.
“Ini sangat serius sekaligus memprihatinkan. Dan rata-rata korbannya adalah perempuan. Lalu kita harus berbuat apa?” tegas Christina.
Baca juga: Pimpinan DPR: Selamat Hari Kartini Bagi Perempuan Indonesia, Teruslah Berjuang dan Berkarya
Wakil Sekjen DPP Partai Golkar tersebut membeberkan dari temuan yang ada bentuk KBGO yang banyak menimpa perempuan di Indonesia antara lain berupa love scam, revenge porn, sexortation, pemalsuan akun dengan tujuan mencoreng nama baik korban, sexting, cyber stalking, viktimisasi, hingga cyber harassing berupa membanjiri akun korban dengan komentar yang mengganggu, mengancam atau menakut-nakuti korban.
“Ini semua bentuk kekerasan riil dan ini sedang menimpa perempuan Indonesia. Kita tentu tidak ingin kasus seperti ini terus terjadi sehingga upaya-upaya, misalnya dari sisi literasi etika bermedia sosial yang selama kita gaungkan perlu terus tingkatkan, selain juga diperlukan upaya perlindungan yang jelas dan tegas dari negara,” lanjut Christina.
Dalam arti tertentu, kata Christina, negara perlu secara serius memikirkan langkah-langkah konkret perlindungan terutama bagi perempuan yang selama ini banyak menjadi korban.
“Apakah dibutuhkan kerangka legislasi selain upaya literasi digital atau media sosial? Biasakan saja, bahwa perilaku kita di dunia nyata harus sama beradabnya dengan perilaku kita di ruang digital,” pungkasnya.